Kamis, 23 September 2010

TERNYATA... ALLAH SWT ITU TIDAK DI LANGIT

Kutipan Penegasan Ulama Islam Bahwa Allah Dzat Tidak Bertempat

by:Abu Salafy.

Setelah Anda ikuti ulasan panjang tentang ayat-ayat yang sering dijadikan pendukung syubhat kaum Mujassimah dan arahan kami tentang pemaknaan yang benar atasnya, sekarang pembaca kami ajak memerhatikan penegasn ulama Islam tentang akidah yang sahihah dalam masalah ketuhanan, khususnya yang tterkait dengan akidah Allah Tidak bertempat yang sangat ditentang oleh kauk Mujassimah Wahhabiyah.

Perlu diketahui di sini bahwa kami tidak menyebut penegasan para ulama Islam di bawah ini dalam kapasitasnya sebagai dalil, hanya saja dengannya kami hendak mengatakan bahwa keyakinan ulama Islam sangat bertolak belakang dengan keyakinan dan akidah tajsîm kaum Mujassimah dan sebenarnya apa yang diutarakan ulama Islam adalah cermin kematangan kelurusan berakidah mereka yang mendasarkanya di attas bukti-bukti lagis dan nash-nash akurat keislaman; Al Qur’an dan Sunnah.

  • Pegenasan Imam Ali as.

Tidak seorang pun meragukan kedalaman dan kelurusan akidah dan pemahaman Imam Ali ibn Abi Thalib (karramalahu wajhahu/semoga Alllah senantiasa memuliakan wajag beliau), sehingga beliau digelari Nabi sebagai pintu kota ilmu kebanian dan kerasulan, dan kerenanya para sahabat mempercayakannya untuk menjelaskan berbagai masalah rumit tentang akidah ketuhanan. Imam Ali ra. berkata:

كان ولا مكان، وهو الان على كان.

”Adalah Allah, tiada tempat bagi-Nya, dan Dia sekarang tetap seperti semula.”

Beliau ra. juga berkata:

إن الله تعالى خلق العرش إظهارًا لقدرته لا مكانا لذاته.

”Sesungguhnya Allah – Maha Tinggi- menciptakan Arsy untuk emnampakkan kekuasaan-Nya bukan sebagai tempat untuk Dzat-Nya.”[1]

Beliau juga berkata:

من زعم أن إلهنا محدود فقد جهل الخالق المعبود.

”Barang siapaa menganggap bahwa Tuhan kita terbatas/mahdûd[2] maka ia telah jahil/tidak mengenal Tuhan Sang Pencipta.”[3]

  • Penegasan Imam Imam Ali ibn Husain –Zainal Abidin- ra.

Ali Zainal Abidin adalah putra Imam Husain –cucu terkasih Rasulullah saw.- tentang ketaqwaan, kedalaman ilmu pengatahuannya tentang Islam, dan kearifan Imam Zainal Abidin tidak seorang pun meragukannya. Beliau adalah tempat berujuk para pembesar tabi’in bahkan sehabat-sabahat Nabi saw.

Telah banyak diriwayatkan untaian kata-kata hikmah tentang ketuhanan dari beliau ra. di antaranya adalah sebagai berikut ini.

أنت الله الذي لا يحويك مكان.

”Engkaulah Allah Dzat yang tidak dirangkum oleh tempat.”

Dalam hikmah lainnya beliau ra. berkata:

أنت الله الذي لا تحد فتكون محدودا

”Engkaulah Allah Dzat yang tidak dibatasi sehingga Engkau menjadi terbatas.”[4]

  • Penegasan Imam Ja’far ash Shadiq ra. (W. 148 H)

Imam Ja’far ash Shadiq adalah putra Imam Muhammad -yang digelaru dengan al Baqir yang artinya si pendekar yang telah membela perut ilmu pengetahuan karena kedalaman dan kejelian analisanya- putra Imam Ali Zainal Abidin. Tentang kedalam ilmu dan kearifan Imam Ja’far ash Shadiq adalah telah menjadi kesepakatan para ulama yang menyebutkan sejarahn hidupnya. Telah banya dikutip dan diriwayatkan darinya berbagai cabang dan disiplin ilmu pengetahuan, khususnya tentang fikih dan akidah.

Di bawah ini kami sebutkan satu di antara pegesan beliau tentang kemaha sucian Allah dari bertempat seperti yang diyakini kaumm Mujassimah Wahhabiyah. Beliau berkata:

من زعم أن الله في شىء، أو من شىء، أو على شىء فقد أشرك. إذ لو كان على شىء لكان محمولا، ولو كان في شىء لكان محصورا، ولو كان من شىء لكان محدثا- أي مخلوقا.

”Barang siapa menganggap bahwa Allah berada dalam/pada sesuatu, atau di attas sesuatu maka dia benar-benar telah menyekutukan Allah. Sebab jika Dia berada di atas sesuatu pastilah Dia itu dipikul. Dan jika Dia berada pada/ di dalam sesuatu pastilah Dia terbatas. Dan jika Dia terbuat dari sesuatu pastilah Dia itu muhdats/tercipta.”[5]

Peringatan:

Mungkin kaum Wahhabiyah Mujassimah sangat keberatan dengan penukilan kami dari para tokoh mulia dan agung keluarga Ahlulbait Nabi saw. dan kemudian menuduh kami sebagai Syi’ah! Sebab sementara ini mereka hanya terbiasa menerima informasi agama dari kaum Mujassimah generasi awal seperti ka’ab al Ahbâr, Muqatil dkk.. Jadi wajar saja jika mereka kemudian alergi terhadap mutiara-mutoara hikmah keluarga Nabi saw. karena pikiran mereka telah teracuni oleh virus ganas akidah tajsîm dan tasybîh yang diprogandakan para pendeta Yahudi dan Nasrani yang berpura-pura memeluk Islam!

Dan sikap mereka itu sekaligus bukti keitdak sukaan mereka terhadap keluarga Nabi Muhammad saw. seperti yang dikeluhkan oleh Ibnu Jauzi al Hanbali bahwa kebanyakan kaum Hanâbilah itu menyimpang dari ajaran Imam Ahmad; imam mereka dan terjebak dalam faham tajsîm dan tasybîh sehingga seakan identik antara bermazhab Hanbali dengan berfaham tajsîm, dan di tengah-tengah mereka terdapat jumlah yang tidak sedikit dari kaum nawâshib yang sangat mendengki dan membenci Ahlulbait Nabi saw. dan membela habis-habisan keluarga tekutuk bani Umayyah; Mu’awiyah, Yazid …. .[6]

  • Penegasan Imam Abu Hanifah ra.

Di antara nama yang sering juga dimanfa’atkan untuk mendukung penyimpangan akidah kaum Mujassimah Wahhabiyah adalah nama Imam Abu Hanifah, karenanya penting juga kita sebutkan nukilan yang nenegaskan akidah lurus Abuhanifah tentang konsep ketuhanan. Di antaranya ia berkata:

ولقاء الله تعالى لأهل الجنة بلا كيف ولا تشبيه ولا جهة حق

”Perjumpaan dengan Allah bagi penghuni surga tanpa bentuk dan penyerupaan adalah haq.”[7]

Dan telah dinukil pula bahwa ia berkata:

قلت: أرأيت لو قيل أين الله تعالى؟ فقال- أي أبو حنيفة-: يقال له كان الله تعالى ولا مكان قبل أن يخلق الخلق، وكان الله تعالى ولم يكن أين ولا خلق ولا شىء، وهو خالق كل شىء.

”Aku (perawi) berkata, ’Bagaimana pendapat Anda jika aku bertanya, ’Di mana Allah?’ Maka Abu Hanifah berkata, ’Dikatakan untuk-Nya Dia telah ada sementara tempat itu belum ada sebelum Dia menciptakan tempat. Dia Allah sudah ada sementara belum ada dimana dan Dia belum meciptakan sesuatu apapun. Dialah Sang Pencipta segala sesuatu.” [8]

Dalam kesempatan lain dinukil darinya:

ونقر بأن الله سبحانه وتعالى على العرش استوى من غير أن يكون له حاجة إليه واستقرار عليه، وهو حافظ العرش وغير العرش من غير احتياج، فلو كان محتاجا لما قدر على إيجاد العالم وتدبيره كالمخلوقين، ولو كان محتاجا إلى الجلوس والقرار فقبل خلق العرش أين كان الله، تعالى الله عن ذلك علوا كبيرا.

”Kami menetapkan (mengakui) bahwa sesungguhnya Allah SWT beristiwâ’ di atas Arsy tanpa Dia butuh kepadanya dan tanpa bersemayam di atasnya. Dialah Tuhan yang memelihara Arsy dan selainnya tanpa ada sedikit pun kebutuhan kepadanya. Jika Dia butuh kepadanya pastilah Dia tidak kuasa mencipta dan mengatur alam semesta, seperti layaknya makhluk ciptaan. Dan jika Dia butuh untuk duduk dan bersemayam, lalu sebelum Dia menciptakan Arsy di mana Dia bertempat. Maha Tinggi Allah dari anggapan itu setinggi-tingginya.”[9]

Pernyataan Abu Hanifah di atas benar-benar mematahkan punggung kaum Mujassimah yang menamakan dirinya sebagai Salafiyah dan enggan disebut Wahhâbiyah yang mengaku-ngaku tanpa malu mengikuti Salaf Shaleh, sementara Abu Hanifah, demikian pula dengan Imam Ja’far, Imam Zainal Abidin adalah pembesar generasi ulama Salaf Shelah mereka abaikan keterangan dan fatwa-fatwa mereka?! Jika mereka itu bukan Salaf Sheleh yang diandalkan kaum Wahhabiyah, lalu siapakah Salaf menurut mereka? Dan siapakah Salaf mereka? Ka’ab al Ahbâr? Muqatil? Atau siapa?

  • Penegasan Imam Syafi’i (w. 204 H)

Telah dinukil dari Imam Syafi’i bahwa ia berkata:

إنه تعالى كان ولا مكان فخلق المكان وهو على صفة الأزلية كما كان قبل خلقه المكان لا يجوز عليه التغيير في ذاته ولا التبديل فيصفاته.

”Sesungguhnya Allah –Ta’ala- tel;ah ada sedangkan belum ada temppat. Lalu Dia menciptakan tempat. Dia tetap atas sifat-Nya sejak azali, seperti sebelum Dia menciptakan tempat. Mustahil atas-Nya perubahan dalam Dzat-Nya dan pergantian pada sifat-Nya.”[10]

  • Penegasan Imam Ahmad ibn Hanbal (W.241H)

Imam Ahmad juga menegaskan akidah serupa. Ibnu Hajar al Haitsami menegaskan bahwa Imam Ahmad tergolong ulama yang mensucikan Allah dari jismiah dan tempat. Ia berkata:

وما اشتهر بين جهلة المنسوبين إلى هذا الإمام الأعظم المجتهد من أنه قائل بشىء من الجهة أو نحوها فكذب وبهتان وافتراء عليه.

”Adapun apa yang tersebar di kalangan kaum jahil yang menisbatkan dirinya kepada sang imam mulia dan mujtahid bahwa beliau meyakini tempat/arah atau semisalnya adalah kebohongan dan kepalsuan belaka atas nama beliau.”[11]

  • Penegasan Imam Ghazzali:

Imam Ghazzali menegaskan dalam kitab Ihyâ’ ‘Ulûmuddîn-nya,4/434:

أن الله تعالى مقدس عن المكان ومنزه عن الاقطار والجهات وأنه ليس داخل العالم ولا خارجه ولا هو متصل به ولا هو منفصل عنه ، قد حير عقول أقوام حتى أنكروه إذ لم يطيقوا سماعه ومعرفته ”

“Sesungguhnya Allah –Ta’ala- Maha suci dari tempat dan suci dari penjuru dan arah. Dia tidak di dalam alam tidak juga di luarnya. Ia tidak bersentuhan dengannya dn tidak juga berpisah darinya. Telah membuat bingun akal-akal kaum-kaum sehingga mereka mengingkari-Nya, karena mereka tidak sanggunp mendengar dan mengertinya.”

Dan banyak keterangan serupa beliau utarakan dalam berbagai karya berharga beliau.

  • Penegasan Ibnu Jauzi

Ibnu Jauzi juga menegaskan akidah Isla serupa dalam kitab Daf’u Syubahi at Tasybîh, ia berkata:

وكذا ينبغي أن يقال ليس بداخل في العالم وليس بخارج منه ، لان الدخول والخروج من لوزام المتحيزات.

“Demikian juga harus dikatakan bahwa Dia tidak berada di dalam alam dan tidak pula di luarnya. Sebab masuk dan keluar adalah konsekuensi yang mesti dialami benda berbentuk.”[12]

Penutup:

Setelah panjang lebar kami ajak pembaca budiman meneliti akidah kaum Mujassimah tentang keberadaaan Allah di langit dan berbagai alasan/syubhat yang mereka sebar-luaskan. Kini sampailah kita pada akhir kajian ini. Semoga bermanfaat bagi kita semua untuk memperkokoh keyakinan dan akidah ketuhanan kita kepada Allah SWT.

Tentunya kajian ringkas ini jauh dari cukup, sebab di sana masih banyak pembahasan terkait yang perlu diteliti dan dikaji pula demi kesempurnaan kajian ini. Akan tetapi –seperti kata papatah Arab-: Apa yang tidak bisa kita raik seluruhnya, jangan ditinggalkan seluruhnya.

Dan tegur sapa pembaca terhadap kesalahan yang terdapat di dalamnya sangat kami harap.

Mudah-mudahan dalam kesempatan lain Allah berkenan memebrikan taufiq dan pertolongan-Nya untuk menyajikan tema-tema serupa agar lebih mengenal akidah ketuhanan ala Wahabi.

Wassalam

(Habis)


[1]Al Farqu baina al Firaq:333.

[2] Maksud kata Mahdûd adalah: memiliki bentuk baik besar maupun kecil, sebab setiap yang berbentuk pasti terbatas!

[3] Hilyatul Awliyâ’; Abu Nu’aim al Isfahani,1/73, ketika menyebut sejarah Ali ibn Abi Thalib ra.

[4] Ithâf as Sâdah al Muttaqîn, Syarah Ihyâ’ ‘Ulumuddîn,4/380.

[5] Risalah al Qusiariyah:6.

[6] Muqaddimah Daf’u Syubah at Tasybîh; Ibnu Jauzi.

[7] Syarah al Fiqul Akbar; Mulla Ali al Qâri:138.

[8] Al Fiqhul Absath (dicetak bersama kumpulan Rasâil Abu Hanifah, dengan tahqiq Syeikh Allamah al Kautsari): 25.

[9] Syarah al Fiqul Akbar; Mulla Ali al Qâri:75.

[10] Ithâf as Sâdah,2/24.

[11] Al Fatâwa al Hadîtsiyah:144.

[12] Daf’u Syubah at Tasybîh (dengan tahqiq Sayyid Hasan ibn Ali as Seqqaf):130.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar