Senin, 31 Mei 2010
JACK SYAMMAS(PENYAIR NASHRANI)MEMUJI NABI MUHAMMAD SAW
جاك شماس شاعر سورى شارك بهذه القصيدة فى مسابقة البردة النبوية نال بها استحسان جميع النقاد
Jumat, 28 Mei 2010
HAKIKAT BID'AH LENGKAP
USTADZ ABOU FATEH
Pengertian Bid’ah
Bid’ah dalam pengertian bahasa adalah:
مَا أُحْدِثَ عَلَى غَيْرِ مِثَالٍ سَابِقٍ
“Sesuatu yang diadakan tanpa ada contoh sebelumnya”.
Seorang ahli bahasa terkemuka, Ar-Raghib al-Ashfahani dalam kitab Mu’jam Mufradat Alfazh al-Qur’an, menuliskan sebagai berikut:
اَلإِبْدَاعُ إِنْشَاءُ صَنْعَةٍ بِلاَ احْتِذَاءٍ وَاقْتِدَاءٍ. وَإِذَا اسْتُعْمِلَ فِيْ اللهِ تَعَالَى فَهُوَ إِيْجَادُ الشَّىْءِ بِغَيْرِ ءَالَةٍ وَلاَ مآدَّةٍ وَلاَ زَمَانٍ وَلاَ مَكَانٍ، وَلَيْسَ ذلِكَ إِلاَّ للهِ. وَالْبَدِيْعُ يُقَالُ لِلْمُبْدِعِ نَحْوُ قَوْلِهِ: (بَدِيْعُ السّمَاوَاتِ وَالأرْض) البقرة:117، وَيُقَالُ لِلْمُبْدَعِ –بِفَتْحِ الدَّالِ- نَحْوُ رَكْوَةٍ بَدِيْعٍ. وَكَذلِكَ الْبِدْعُ يُقَالُ لَهُمَا جَمِيْعًا، بِمَعْنَى الْفَاعِلِ وَالْمَفْعُوْلِ. وَقَوْلُهُ تَعَالَى: (قُلْ مَا كُنْتُ بِدْعًا مِنَ الرُّسُل) الأحقاف: 9، قِيْلَ مَعْنَاهُ: مُبْدَعًا لَمْ يَتَقَدَّمْنِيْ رَسُوْلٌ، وَقِيْلَ: مُبْدِعًا فِيْمَا أَقُوْلُهُ.اهـ
“Kata Ibda’ artinya merintis sebuah kreasi baru tanpa mengikuti dan mencontoh sesuatu sebelumnya. Kata Ibda’ jika digunakan pada hak Allah, maka maknanya adalah penciptaan terhadap sesuatu tanpa alat, tanpa bahan, tanpa masa dan tanpa tempat. Kata Ibda’ dalam makna ini hanya berlaku bagi Allah saja. Kata al-Badi’ digunakan untuk al-Mubdi’ (artinya yang merintis sesuatu yang baru). Seperti dalam firman (Badi’ as-Samawat Wa al-Ardl), artinya: “Allah Pencipta langit dan bumi…”. Kata al-Badi’ juga digunakan untuk al-Mubda’ (artinya sesuatu yang dirintis). Seperti kata Rakwah Badi’, artinya: “Bejana air yang unik (dengan model baru)”. Demikian juga kata al-Bid'u digunakan untuk pengertian al-Mubdi’ dan al-Mubda’, artinya berlaku untuk makna Fa’il (pelaku) dan berlaku untuk makna Maf’ul (obyek). Firman Allah dalam QS. al-Ahqaf: 9 (Qul Ma Kuntu Bid’an Min ar-Rusul), menurut satu pendapat maknanya adalah: “Katakan Wahai Muhammad, Aku bukan Rasul pertama yang belum pernah didahului oleh rasul sebelumku” (artinya penggunaan dalam makna Maf’ul)”, menurut pendapat lain makna ayat tersebut adalah: “Katakan wahai Muhammad, Aku bukanlah orang yang pertama kali menyampaikan apa yang aku katakan” (artinya penggunaan dalam makna Fa’il)” (Mu’jam Mufradat Alfazh al-Qur’an, h. 36).
Dalam pengertian syari’at, bid’ah adalah:
اَلْمُحْدَثُ الَّذِيْ لَمْ يَنُصَّ عَلَيْهِ الْقُرْءَانُ وَلاَ جَاءَ فِيْ السُّـنَّةِ.
“Sesuatu yang baru yang tidak terdapat penyebutannya secara tertulis, baik di dalam al-Qur’an maupun dalam hadits”. (Sharih al-Bayan, j. 1, h. 278)
Seorang ulama bahasa terkemuka, Abu Bakar Ibn al-‘Arabi menuliskan sebagai berikut:
لَيْسَتْ البِدْعَةُ وَالْمُحْدَثُ مَذْمُوْمَيْنِ لِلَفْظِ بِدْعَةٍ وَمُحْدَثٍ وَلاَ مَعْنَيَيْهِمَا، وَإِنَّمَا يُذَمُّ مِنَ البِدْعَةِ مَا يُخَالِفُ السُّـنَّةَ، وَيُذَمُّ مِنَ الْمُحْدَثَاتِ مَا دَعَا إِلَى الضَّلاَلَةِ.
“Perkara yang baru (Bid’ah atau Muhdats) tidak pasti tercela hanya karena secara bahasa disebut Bid’ah atau Muhdats, atau dalam pengertian keduanya. Melainkan Bid’ah yang tercela itu adalah perkara baru yang menyalahi sunnah, dan Muhdats yang tercela itu adalah perkara baru yang mengajak kepada kesesatan”.
Macam-Macam Bid’ah
Bid’ah terbagi menjadi dua bagian:
Pertama: Bid’ah Dlalalah. Disebut pula dengan Bid’ah Sayyi-ah atau Sunnah Sayyi-ah. Yaitu perkara baru yang menyalahi al-Qur’an dan Sunnah.
Kedua: Bid’ah Huda atau disebut juga dengan Bid’ah Hasanah atau Sunnah Hasanah. Yaitu perkara baru yang sesuai dan sejalan dengan al-Qur’an dan Sunnah.
Al-Imam asy-Syafi’i berkata :
الْمُحْدَثَاتُ مِنَ اْلأُمُوْرِ ضَرْبَانِ : أَحَدُهُمَا : مَا أُحْدِثَ ِممَّا يُخَالـِفُ كِتَابًا أَوْ سُنَّةً أَوْ أَثرًا أَوْ إِجْمَاعًا ، فهَذِهِ اْلبِدْعَةُ الضَّلاَلـَةُ، وَالثَّانِيَةُ : مَا أُحْدِثَ مِنَ الْخَيْرِ لاَ خِلاَفَ فِيْهِ لِوَاحِدٍ مِنْ هذا ، وَهَذِهِ مُحْدَثَةٌ غَيْرُ مَذْمُوْمَةٍ (رواه الحافظ البيهقيّ في كتاب " مناقب الشافعيّ)
“Perkara-perkara baru itu terbagi menjadi dua bagian. Pertama: Perkara baru yang menyalahi al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ atau menyalahi Atsar (sesuatu yang dilakukan atau dikatakan sahabat tanpa ada di antara mereka yang mengingkarinya), perkara baru semacam ini adalah bid’ah yang sesat. Kedua: Perkara baru yang baru yang baik dan tidak menyalahi al-Qur’an, Sunnah, maupun Ijma’, maka sesuatu yang baru seperti ini tidak tercela”. (Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dengan sanad yang Shahih dalam kitab Manaqib asy-Syafi’i) (Manaqib asy-Syafi’i, j. 1, h. 469).
Dalam riwayat lain al-Imam asy-Syafi’i berkata:
اَلْبِدْعَةُ بِدْعَتَانِ: بِدْعَةٌ مَحْمُوْدَةٌ وَبِدْعَةٌ مَذْمُوْمَةٌ، فَمَا وَافَقَ السُّـنَّةَ فَهُوَ مَحْمُوْدٌ وَمَا خَالَفَهَا فَهُوَ مَذْمُوْمٌ.
“Bid’ah ada dua macam: Bid’ah yang terpuji dan bid’ah yang tercela. Bid’ah yang sesuai dengan Sunnah adalah bid’ah terpuji, dan bid’ah yang menyalahi Sunnah adalah bid’ah tercela”. (Dituturkan oleh al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fath al-Bari)
Pembagian bid’ah menjadi dua oleh Imam Syafi'i ini disepakati oleh para ulama setelahnya dari seluruh kalangan ahli fikih empat madzhab, para ahli hadits, dan para ulama dari berbagai disiplin ilmu. Di antara mereka adalah para ulama terkemuka, seperti al-‘Izz ibn Abd as-Salam, an-Nawawi, Ibn ‘Arafah, al-Haththab al-Maliki, Ibn ‘Abidin dan lain-lain. Dari kalangan ahli hadits di antaranya Ibn al-'Arabi al-Maliki, Ibn al-Atsir, al-Hafizh Ibn Hajar, al-Hafzih as-Sakhawi, al-Hafzih as-Suyuthi dan lain-lain. Termasuk dari kalangan ahli bahasa sendiri, seperti al-Fayyumi, al-Fairuzabadi, az-Zabidi dan lainnya.
Dengan demikian bid’ah dalam istilah syara’ terbagi menjadi dua: Bid’ah Mahmudah (bid’ah terpuji) dan Bid’ah Madzmumah (bid’ah tercela).
Pembagian bid’ah menjadi dua bagian ini dapat dipahami dari hadits ‘Aisyah, bahwa ia berkata: Rasulullah bersabda:
مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ (رواه البخاريّ ومسلم)
“Barang siapa yang berbuat sesuatu yang baharu dalam syari’at ini yang tidak sesuai dengannya, maka ia tertolak”. (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Dapat dipahami dari sabda Rasulullah: “Ma Laisa Minhu”, artinya “Yang tidak sesuai dengannya”, bahwa perkara baru yang tertolak adalah yang bertentangan dan menyalahi syari’at. Adapun perkara baru yang tidak bertentangan dan tidak menyalahi syari’at maka ia tidak tertolak.
Bid’ah dilihat dari segi wilayahnya terbagi menjadi dua bagian; Bid’ah dalam pokok-pokok agama (Ushuluddin) dan bid’ah dalam cabang-cabang agama, yaitu bid’ah dalam Furu’, atau dapat kita sebut Bid’ah ‘Amaliyyah. Bid’ah dalam pokok-pokok agama (Ushuluddin) adalah perkara-perkara baru dalam masalah akidah yang menyalahi akidah Rasulullah dan para sahabatnya.
Dalil-Dalil Bid’ah Hasanah
Al-Muhaddits al-‘Allamah as-Sayyid ‘Abdullah ibn ash-Shiddiq al-Ghumari al-Hasani dalam kitab Itqan ash-Shun’ah Fi Tahqiq Ma’na al-Bid’ah, menuliskan bahwa di antara dalil-dalil yang menunjukkan adanya bid’ah hasanah adalah sebagai berikut (Lihat Itqan ash-Shun’ah, h. 17-28):
1. Firman Allah dalam QS. al-Hadid: 27:
وَجَعَلْنَا فِي قُلُوبِ الَّذِينَ اتَّبَعُوهُ رَأْفَةً وَرَحْمَةً وَرَهْبَانِيَّةً ابْتَدَعُوهَا مَا كَتَبْنَاهَا عَلَيْهِمْ إِلَّا ابْتِغَاءَ رِضْوَانِ اللَّهِ (الحديد: 27)
“Dan Kami (Allah) jadikan dalam hati orang-orang yang mengikutinya (Nabi ‘Isa) rasa santun dan kasih sayang, dan mereka mengada-adakan rahbaniyyah, padahal Kami tidak mewajibkannya kepada mereka, tetapi (mereka sendirilah yang mengada-adakannya) untuk mencari keridhaan Allah” (Q.S. al-Hadid: 27)
Ayat ini adalah dalil tentang adanya bid’ah hasanah. Dalam ayat ini Allah memuji ummat Nabi Isa terdahulu, mereka adalah orang-orang muslim dan orang-orang mukmin berkeyakinan akan kerasulan Nabi Isa dan bahwa berkeyakinan bahwa hanya Allah yang berhak disembah. Allah memuji mereka karena mereka kaum yang santun dan penuh kasih sayang, juga karena mereka merintis rahbaniyyah. Praktek Rahbaniyyah adalah perbuatan menjauhi syahwat duniawi, hingga mereka meninggalkan nikah, karena ingin berkonsentrasi dalam beribadah kepada Allah.
Dalam ayat di atas Allah mengatakan “Ma Katabnaha ‘Alaihim”, artinya: “Kami (Allah) tidak mewajibkan Rahbaniyyah tersebut atas mereka, melainkan mereka sendiri yang membuat dan merintis Rahbaniyyah itu untuk tujuan mendekatkan diri kepada Allah”. dalam ayat ini Allah memuji mereka, karena mereka merintis perkara baru yang tidak ada nash-nya dalam Injil, juga tidak diwajibkan bahkan tidak sama sekali tidak pernah dinyatakan oleh Nabi ‘Isa al-Masih kepada mereka. Melainkan mereka yang ingin berupaya semaksimal mungkin untuk taat kepada Allah, dan berkonsentrasi penuh untuk beribadah kepada-Nya dengan tidak menyibukkan diri dengan menikah, menafkahi isteri dan keluarga. Mereka membangun rumah-rumah kecil dan sederhana dari tanah atau semacamnya di tempat-tempat sepi dan jauh dari orang untuk beribadah sepenuhnya kepada Allah.
2. Hadits sahabat Jarir ibn Abdillah al-Bajali, bahwa ia berkata: Rasulullah bersabda:
مَنْ سَنَّ فِيْ الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَىْءٌ، وَمَنْ سَنَّ فِيْ الإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَىْءٌ (رواه مسلم)
“Barang siapa merintis (memulai) dalam agama Islam sunnah (perbuatan) yang baik maka baginya pahala dari perbuatannya tersebut, dan pahala dari orang yang melakukannya (mengikutinya) setelahnya, tanpa berkurang sedikitpun dari pahala mereka. Dan barang siapa merintis dalam Islam sunnah yang buruk maka baginya dosa dari perbuatannya tersebut, dan dosa dari orang yang melakukannya (mengikutinya) setelahnya tanpa berkurang dari dosa-dosa mereka sedikitpun”. (HR. Muslim)
Dalam hadits ini dengan sangat jelas Rasulullah mengatakan: “Barangsiapa merintis sunnah hasanah…”. Pernyataan Rasulullah ini harus dibedakan dengan pengertian anjuran beliau untuk berpegangteguh dengan sunnah (at-Tamassuk Bis-Sunnah) atau pengertian menghidupkan sunnah yang ditinggalkan orang (Ihya’ as-Sunnah). Karena tentang perintah untuk berpegangteguh dengan sunnah atau menghidupkan sunnah ada hadits-hadits tersendiri yang menjelaskan tentang itu. Sedangkan hadits riwayat Imam Muslim ini berbicara tentang merintis sesuatu yang baru yang baik yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Karena secara bahasa makna “sanna” tidak lain adalah merintis perkara baru, bukan menghidupkan perkara yang sudah ada atau berpegang teguh dengannya.
3. Hadits ‘Aisyah, bahwa ia berkata: Rasulullah bersabda:
مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ (رواه البخاريّ ومسلم)
“Barang siapa yang berbuat sesuatu yang baharu dalam syari'at ini yang tidak sesuai dengannya, maka ia tertolak”. (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Hadits ini dengan sangat jelas menunjukkan tentang adanya bid’ah hasanah. Karena seandainya semua bid’ah pasti sesat tanpa terkecuali, niscaya Rasulullah akan mengatakan “Barangsiapa merintis hal baru dalam agama kita ini apapun itu, maka pasti tertolak”. Namun Rasulullah mengatakan, sebagaimana hadits di atas: “Barangsiapa merintis hal baru dalam agama kita ini yang tidak sesuai dengannya, artinya yang bertentangan dengannya, maka perkara tersebut pasti tertolak”.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa perkara yang baru itu ada dua bagian: Pertama, yang tidak termasuk dalam ajaran agama, karena menyalahi kaedah-kaedah dan dalil-dalil syara’, perkara baru semacam ini digolongkan sebagai bid’ah yang sesat. Kedua, perkara baru yang sesuai dengan kaedah dan dalil-dalil syara’, perkara baru semacam ini digolongkan sebagai perkara baru yang dibenarkan dan diterima, ialah yang disebut dengan bid’ah hasanah.
4. Dalam sebuah hadits shahih riwayat al-Imam al-Bukhari dalam kitab Shahih-nya disebutkan bahwa sahabat ‘Umar ibn al-Khaththab secara tegas mengatakan tentang adanya bid’ah hasanah. Ialah bahwa beliau menamakan shalat berjama’ah dalam shalat tarawih di bulan Ramadlan sebagai bid’ah hasanah. Beliau memuji praktek shalat tarawih berjama’ah ini, dan mengatakan: “Ni’mal Bid’atu Hadzihi”. Artinya, sebaik-baiknya bid’ah adalah shalat tarawih dengan berjama’ah.
Kemudian dalam hadits Shahih lainnya yang diriwayatkan oleh Imam Muslim disebutkan bahwa sahabat ‘Umar ibn al-Khaththab ini menambah kalimat-kalimat dalam bacaan talbiyah terhadap apa yang telah diajarkan oleh Rasulullah. Bacaan talbiyah beliau adalah:
لَبَّيْكَ اللّهُمَّ لَبَّيْكَ وَسَعْدَيْكَ، وَالْخَيْرُ فِيْ يَدَيْكَ، وَالرَّغْبَاءُ إِلَيْكَ وَالْعَمَلُ
5. Dalam hadits riwayat Abu Dawud disebutkan bahwa ‘Abdullah ibn ‘Umar ibn al-Khaththab menambahkan kalimat Tasyahhud terhadap kalimat-kalimat Tasyahhud yang telah diajarkan oleh Rasulullah. Dalam Tasayahhud-nya ‘Abdullah ibn ‘Umar mengatakan:
أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ.
Tentang kaliamat tambahan dalam Tasyahhud-nya ini, ‘Abdullah ibn ‘Umar berkata: “Wa Ana Zidtuha...”, artinya: “Saya sendiri yang menambahkan kalimat “Wahdahu La Syarika Lah”.
6. ‘Abdullah ibn ‘Umar menganggap bahwa shalat Dluha sebagai bid’ah, karena Rasulullah tidak pernah melakukannya. Tentang shalat Dluha ini beliau berkata:
إِنَّهَا مُحْدَثَةٌ وَإِنَّهَا لَمِنْ أَحْسَنِ مَا أَحْدَثُوْا (رواه سعيد بن منصور بإسناد صحيح)
“Sesungguhnya shalat Dluha itu perkara baru, dan hal itu merupakan salah satu perkara terbaik dari apa yang mereka rintis”. (HR. Sa’id ibn Manshur dengan sanad yang Shahih)
Dalam riwayat lain, tentang shalat Dluha ini sahabat ‘Abdullah ibn ‘Umar mengatakan:
بِدْعَةٌ وَنِعْمَتْ البِدْعَةُ (رواه ابن أبي شيبة)
“Shalat Dluha adalah bid’ah, dan ia adalah sebaik-baiknya bid’ah”. (HR. Ibn Abi Syaibah)
Riwayat-riwayat ini dituturkan oleh al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fath al-Bari dengan sanad yang shahih.
7. Dalam sebuah hadits shahih, al-Imam al-Bukhari meriwayatkan dari sahabat Rifa'ah ibn Rafi’, bahwa ia (Rifa’ah ibn Rafi’) berkata: “Suatu hari kami shalat berjama’ah di belakang Rasulullah. Ketika beliau mengangkat kepala setelah ruku’, beliau membaca: “Sami’allahu Lima Hamidah”. Tiba-tiba salah seorang makmum berkata:
رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ حَمْدًا كَثِيْرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيْهِ
Setelah selesai shalat, Rasulullah bertanya: “Siapakah tadi yang mengatakan kalimat-kalimat itu?”. Orang yang yang dimaksud menjawab: “Saya Wahai Rasulullah...”. Lalu Rasulullah berkata:
رَأَيْتُ بِضْعَةً وَثَلاَثِيْنَ مَلَكًا يَبْتَدِرُوْنَهَا أَيُّهُمْ يَكْتُبُهَا أَوَّلَ
“Aku melihat lebih dari tiga puluh Malaikat berlomba untuk menjadi yang pertama mencatatnya”.
Al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fath al-Bari, mengatakan: “Hadits ini adalah dalil yang menunjukkan akan kebolehan menyusun bacaan dzikir di dalam shalat yang tidak ma’tsur, selama dzikir tersebut tidak menyalahi yang ma’tsur” (Fath al-Bari, j. 2, h. 287).
7. al-Imam an-Nawawi, dalam kitab Raudlah ath-Thalibin, tentang doa Qunut, beliau menuliskan sebagai berikut:
هذَا هُوَ الْمَرْوِيُّ عَنِ النَّبِيِّ صَلّى اللهُ عَليهِ وَسَلّمَ وَزَادَ الْعُلَمَاءُ فِيْهِ: "وَلاَ يَعِزُّ مَنْ عَادَيْتَ" قَبْلَ "تَبَارَكْتَ وَتَعَالَيْتَ" وَبَعْدَهُ: "فَلَكَ الْحَمْدُ عَلَى مَا قَضَيْتَ، أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوْبُ إِلَيْكَ". قُلْتُ: قَالَ أَصْحَابُنَا: لاَ بَأْسَ بِهذِهِ الزِّيَادَةِ. وَقَالَ أَبُوْ حَامِدٍ وَالْبَنْدَنِيْجِيُّ وَءَاخَرُوْنَ: مُسْتَحَبَّةٌ.
“Inilah lafazh Qunut yang diriwayatkan dari Rasulullah. Lalu para ulama menambahkan kalimat: “Wa La Ya’izzu Man ‘Adaita” sebelum “Tabarakta Wa Ta’alaita”. Mereka juga menambahkan setelahnya, kalimat “Fa Laka al-Hamdu ‘Ala Ma Qadlaita, Astaghfiruka Wa Atubu Ilaika”. Saya (an-Nawawi) katakan: Ashab asy-Syafi’i mengatakan: “Tidak masalah (boleh) dengan adanya tambahan ini”. Bahkan Abu Hamid, dan al-Bandanijiyy serta beberapa Ashhab yang lain mengatakan bahwa bacaan tersebut adalah sunnah” (Raudlah ath-Thalibin, j. 1, h. 253-254).
Beberapa Contoh Bid’ah Hasanah Dan Bid’ah Sayyi-ah
Berikut ini beberapa contoh Bid’ah Hasanah. Di antaranya:
1. Shalat Sunnah dua raka’at sebelum dibunuh. Orang yang pertama kali melakukannya adalah Khubaib ibn ‘Adiyy al-Anshari; salah seorang sahabat Rasulullah. Tentang ini Abu Hurairah berkata:
فَكَانَ خُبَيْبٌ أَوَّلَ مَنْ سَنَّ الصَّلاَةَ عِنْدَ الْقَتْلِ (رواه البخاريّ)
“Khubaib adalah orang yang pertama kali merintis shalat ketika akan dibunuh”. (HR. al-Bukhari dalam kitab al-Maghazi, Ibn Abi Syaibah dalam kitab al-Mushannaf)
Lihatlah, bagaimana sahabat Abu Hurairah menggunakan kata “Sanna” untuk menunjukkan makna “merintis”, membuat sesuatu yang baru yang belaum ada sebelumnya. Jelas, makna “sanna” di sini bukan dalam pengertian berpegang teguh dengan sunnah, juga bukan dalam pengertian menghidupkan sunnah yang telah ditinggalkan orang.
Salah seorang dari kalangan tabi'in ternama, yaitu al-Imam Ibn Sirin, pernah ditanya tentang shalat dua raka’at ketika seorang akan dibunuh, beliau menjawab:
صَلاَّهُمَا خُبَيْبٌ وَحُجْرٌ وَهُمَا فَاضِلاَنِ.
“Dua raka’at shalat sunnah tersebut tersebut pernah dilakukan oleh Khubaib dan Hujr bin Adiyy, dan kedua orang ini adalah orang-orang (sahabat Nabi) yang mulia”. (Diriwayatkan oleh Ibn Abd al-Barr dalam kitab al-Isti’ab) (al-Isti’ab Fi Ma’rifah al-Ash-hab, j. 1, h. 358)
2. Penambahan Adzan Pertama sebelum shalat Jum’at oleh sahabat Utsman bin ‘Affan. (HR. al-Bukhari dalam Kitab Shahih al-Bukhari pada bagian Kitab al-Jum'ah).
3. Pembuatan titik-titik dalam beberapa huruf al-Qur’an oleh Yahya ibn Ya’mur. Beliau adalah salah seorang tabi'in yang mulia dan agung. Beliau seorang yang alim dan bertaqwa. Perbuatan beliau ini disepakati oleh para ulama dari kalangan ahli hadits dan lainnya. Mereka semua menganggap baik pembuatan titik-titik dalam beberapa huruf al-Qur’an tersebut. Padahal ketika Rasulullah mendiktekan bacaan-bacaan al-Qur’an tersebut kepada para penulis wahyu, mereka semua menuliskannya dengan tanpa titik-titik sedikitpun pada huruf-hurufnya.
Demikian pula di masa Khalifah ‘Utsman ibn ‘Affan, beliau menyalin dan menggandakan mush-haf menjadi lima atau enam naskah, pada setiap salinan mush-haf-mush-haf tersebut tidak ada satu-pun yang dibuatkan titik-titik pada sebagian huruf-hurufnya. Namun demikian, sejak setelah pemberian titik-titik oleh Yahya bin Ya'mur tersebut kemudian semua umat Islam hingga kini selalu memakai titik dalam penulisan huruf-huruf al-Qur’an. Apakah mungkin hal ini dikatakan sebagai bid’ah sesat dengan alasan Rasulullah tidak pernah melakukannya?! Jika demikian halnya maka hendaklah mereka meninggalkan mush-haf-mush-haf tersebut dan menghilangkan titik-titiknya seperti pada masa ‘Utsman.
Abu Bakar ibn Abu Dawud, putra dari Imam Abu Dawud penulis kitab Sunan, dalam kitabnya al-Mashahif berkata: “Orang yang pertama kali membuat titik-titik dalam Mush-haf adalah Yahya bin Ya’mur”. Yahya bin Ya’mur adalah salah seorang ulama tabi'in yang meriwayatkan (hadits) dari sahabat ‘Abdullah ibn ‘Umar dan lainnya.
Demikian pula penulisan nama-nama surat di permulaan setiap surat al-Qur’an, pemberian lingkaran di akhir setiap ayat, penulisan juz di setiap permulaan juz, juga penulisan hizb, Nishf (pertengahan Juz), Rubu' (setiap seperempat juz) dalam setiap juz dan semacamnya, semua itu tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah dan para sahabatnya. Apakah dengan alasan semacam ini kemudian semua itu adalah bid’ah yang diharamkan?!
4. Pembuatan Mihrab dalam majid sebagai tempat shalat Imam, orang yang pertama kali membuat Mihrab semacam ini adalah al-Khalifah ar-Rasyid ‘Umar ibn Abd al-'Aziz di Masjid Nabawi. Perbuatan al-Khalifah ar-Rasyid ini kemudian diikuti oleh kebanyakan ummat Islam di seluruh dunia ketika mereka membangun masjid. Siapa berani mengatakan bahwa itu adalah bid’ah sesat, sementara hampir seluruh masjid di zaman sekarang memiliki mihrab?! Siapa yang tidak mengenal Khalifah ‘Umar ibn ‘Abd al-‘Aziz sebagai al-Khalifah ar-Rasyid?!
5. Peringatan Maulid Nabi adalah bid’ah hasanah sebagaimana ditegaskan oleh al-Hafizh Ibn Dihyah (abad 7 H), al-Hafizh al-'Iraqi (W 806 H), al-Hafizh Ibn Hajar al-'Asqalani (W 852 H), al-Hafizh as-Suyuthi (W 911 H), al-Hafizh as-Sakhawi (W 902 H), Syekh Ibn Hajar al-Haitami (W 974 H), al-Imam Nawawi (W 676 H), al-Imam al-‘Izz ibn 'Abd as-Salam (W 660 H), Mantan Mufti Mesir; Syekh Muhammad Bakhit al-Muthi'i (W 1354 H), mantan Mufti Bairut Lebanon Syekh Mushthafa Naja (W 1351 H) dan masih banyak lagi para ulama terkemuka lainnya.
6. Membaca shalawat atas Rasulullah setelah adzan adalah bid’ah hasanah sebagaimana dijelaskan oleh al-Hafizh as-Suyuthi dalam kitab Musamarah al-Awa-il, al-Hafizh as-Sakhawi dalam kitab al-Qaul al-Badi’, al-Haththab al-Maliki dalam kitab Mawahib al-Jalil, dan para ulama besar lainnya.
7. Menulis kalimat “Shallallahu 'Alayhi Wa Sallam” setelah menulis nama Rasulullah termasuk bid’ah hasanah. Karena Rasulullah dalam surat-surat yang beliau kirimkan kepada para raja dan para penguasa di masa beliau hidup tidak pernah menulis kalimat shalawat semacam itu. Dalam surat-suratnya, Rasulullah hanya menuliskan: “Min Muhammad Rasulillah Ila Fulan…”, artinya: “Dari Muhammad Rasulullah kepada Si Fulan…”.
8. Beberapa Tarekat yang dirintis oleh para wali Allah dan orang-orang saleh. Seperti tarekat ar-Rifa'iyyah, al-Qadiriyyah, an-Naqsyabandiyyah dan lainnya yang kesemuanya berjumlah sekitar 40 tarekat. Pada asalnya, tarekat-tarekat ini adalah bid’ah hasanah, namun kemudian sebagian pengikut beberapa tarekat ada yang menyimpang dari ajaran dasarnya. Namun demikian hal ini tidak lantas menodai tarekat pada peletakan atau tujuan awalnya.
Berikut ini beberapa contoh Bid’ah Sayyi-ah. di antaranya sebagai berikut:
1. Bid’ah-bid’ah dalam masalah pokok-pokok agama (Ushuluddin), di antaranya seperti:
A. Bid’ah Pengingkaran terhadap ketentuan (Qadar) Allah. Yaitu keyakinan sesat yang mengatakan bahwa Allah tidak mentaqdirkan dan tidak menciptakan suatu apapun dari segala perbuatan ikhtiar hamba. Seluruh perbuatan manusia, -menurut keyakinan ini-, terjadi dengan penciptaan manusia itu sendiri. Sebagian dari mereka meyakini bahwa Allah tidak menciptakan keburukan. Menurut mereka, Allah hanya menciptakan kebaikan saja, sedangkan keburukan yang menciptakannya adalah hamba sendiri. Mereka juga berkeyakinan bahwa pelaku dosa besar bukan seorang mukmin, dan juga bukan seorang kafir, melainkan berada pada posisi di antara dua posisi tersebut, tidak mukmin dan tidak kafir. Mereka juga mengingkari syafa'at Nabi. Golongan yang berkeyakinan seperti ini dinamakan dengan kaum Qadariyyah. Orang yang pertama kali mengingkari Qadar Allah adalah Ma'bad al-Juhani di Bashrah, sebagaimana hal ini telah diriwayatkan dalam Shahih Muslim dari Yahya ibn Ya'mur.
B. Bid’ah Jahmiyyah. Kaum Jahmiyyah juga dikenal dengan sebutan Jabriyyah, mereka adalah pengikut Jahm ibn Shafwan. Mereka berkeyakinan bahwa seorang hamba itu majbur (dipaksa); artinya setiap hamba tidak memiliki kehendak sama sekali ketika melakukan segala perbuatannya. Menurut mereka, manusia bagaikan sehelai bulu atau kapas yang terbang di udara sesuai arah angin, ke arah kanan dan ke arah kiri, ke arah manapun, ia sama sekali tidak memiliki ikhtiar dan kehendak.
C. Bid’ah kaum Khawarij. Mereka mengkafirkan orang-orang mukmin yang melakukan dosa besar.
D. Bid’ah sesat yang mengharamkan dan mengkafirkan orang yang bertawassul dengan para nabi atau dengan orang-orang saleh setelah para nabi atau orang-orang saleh tersebut meninggal. Atau pengkafiran terhadap orang yang tawassul dengan para nabi atau orang-orang saleh di masa hidup mereka namun orang yang bertawassul ini tidak berada di hadapan mereka. Orang yang pertama kali memunculkan bid’ah sesat ini adalah Ahmad ibn ‘Abd al-Halim ibn Taimiyah al-Harrani (W 728 H), yang kemudian diambil oleh Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab dan para pengikutnya yang dikenal dengan kelompok Wahhabiyyah.
2. Bid’ah-bid’ah 'Amaliyyah yang buruk. Contohnya menulis huruf (ص) atau (صلعم) sebagai singkatan dari “Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam” setelah menuliskan nama Rasulullah. Termasuk dalam bahasa Indonesia menjadi “SAW”. Para ahli hadits telah menegaskan dalam kitab-kitab Mushthalah al-Hadits bahwa menuliskan huruf “shad” saja setelah penulisan nama Rasulullah adalah makruh. Artinya meskipun ini bid’ah sayyi-ah, namun demikian mereka tidak sampai mengharamkannya. Kemudian termasuk juga bid’ah sayyi-ah adalah merubah-rubah nama Allah dengan membuang alif madd (bacaan panjang) dari kata Allah atau membuang Ha' dari kata Allah.
Kerancuan Pendapat Yang Mengingkari Bid’ah Hasanah
1. Kalangan yang mengingkari adanya bid’ah hasanah biasa berkata: “Bukankah Rasulullah dalam hadits riwayat Abu Dawud dari sahabat al-‘Irbadl ibn Sariyah telah bersabda:
وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ (رواه أبو داود)
Ini artinya bahwa setiap perkara yang secara nyata tidak disebutkan dalam al-Qur’an dan hadits atau tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah dan atau al-Khulafa' ar-Rasyidun maka perkara tersebut dianggap sebagai bid’ah sesat .
Jawab:
Hadits ini lafazhnya umum tetapi maknanya khusus. Artinya yang dimaksud oleh Rasulullah dengan bid’ah tersebut adalah bid’ah sayyi-ah, yaitu setiap perkara baru yang menyalahi al-Qur’an, sunnah, ijma' atau atsar. Al-Imam an-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim menuliskan: “Sabda Rasulullah “Kullu Bid’ah dlalalah” ini adalah 'Amm Makhshush; artinya, lafazh umum yang telah dikhususkan kepada sebagian maknanya. Jadi yang dimaksud adalah bahwa sebagian besar bid’ah itu sesat (bukan mutlak semua bid’ah itu sesat)” (al-Minhaj Bi Syarah Shahih Muslim ibn al-Hajjaj, j. 6, hlm. 154).
Kemudian al-Imam an-Nawawi membagi bid’ah menjadi lima macam. Beliau berkata: “Jika telah dipahami apa yang telah aku tuturkan, maka dapat diketahui bahwa hadits ini termasuk hadits umum yang telah dikhususkan. Demikian juga pemahamannya dengan beberapa hadits serupa dengan ini. Apa yang saya katakan ini didukung oleh perkataan ‘Umar ibn al-Khaththab tentang shalat Tarawih, beliau berkata: “Ia (Shalat Tarawih dengan berjama’ah) adalah sebaik-baiknya bid’ah”.
Dalam penegasan al-Imam an-Nawawi, meski hadits riwayat Abu Dawud tersebut di atas memakai kata “Kullu” sebagai ta’kid, namun bukan berarti sudah tidak mungkin lagi di-takhshish. Melainkan ia tetap dapat di-takhshish. Contoh semacam ini, dalam QS. al-Ahqaf: 25, Allah berfirman:
تُدَمِّرُ كُلَّ شَيْءٍ (الأحقاف: 25)
Makna ayat ini ialah bahwa angin yang merupakan adzab atas kaum 'Ad telah menghancurkan kaum tersebut dan segala harta benda yang mereka miliki. Bukan artinya bahwa angin tersebut menghancurkan segala sesuatu secara keseluruhan, karena terbukti hingga sekarang langit dan bumi masih utuh. Padahal dalam ayat ini menggunakan kata “Kull”.
Adapun dalil-dalil yang men-takhshish hadits “Wa Kullu Bid’ah Dlalalah” riwayat Abu Dawud ini adalah hadits-hadits dan atsar-atsar yang telah disebutkan dalam dalil-dalil adanya bid’ah hasanah.
2. Kalangan yang mengingkari bid’ah hasanah biasanya berkata: “Hadits “Man Sanna Fi al-Islam Sunnatan Hasanatan…” yang telah diriwayatkan oleh Imam Muslim adalah khusus berlaku ketika Rasulullah masih hidup. Adapun setelah Rasulullah meninggal maka hal tersebut menjadi tidak berlaku lagi”.
Jawab:
Di dalam kaedah Ushuliyyah disebutkan:
لاَ تَثْبُتُ الْخُصُوْصِيَّةُ إِلاَّ بِدَلِيْلٍ
“Pengkhususan -terhadap suatu nash- itu tidak boleh ditetapkan kecuali harus berdasarkan adanya dalil”.
Kita katakan kepada mereka: “Mana dalil yang menunjukan kekhususan tersebut?! Justru sebaliknya, lafazh hadits riwayat Imam Muslim di atas menunjukkan keumuman, karena Rasulullah tidak mengatakan “Man Sanna Fi Hayati Sunnatan Hasanatan…” (Barangsiapa merintis perkara baru yang baik di masa hidupku…), atau juga tidak mengatakan: “Man ‘Amila ‘Amalan Ana ‘Amiltuh Fa Ahyahu…” (Barangsiapa mengamalkan amal yang telah aku lakukan, lalu ia menghidupkannya…). Sebaliknya Rasulullah mengatakan secara umum: “Man Sanna Fi al-Islam Sunnatan Hasanatan…”, dan tentunya kita tahu bahwa Islam itu tidak hanya yang ada pada masa Rasulullah saja”.
Kita katakan pula kepada mereka: Berani sekali kalian mengatakan hadits ini tidak berlaku lagi setelah Rasulullah meninggal?! Berani sekali kalian menghapus salah satu hadits Rasulullah?! Apakah setiap ada hadits yang bertentangan dengan faham kalian maka berarti hadits tersebut harus di-takhshish, atau harus d-nasakh (dihapus) dan tidak berlaku lagi?! Ini adalah bukti bahwa kalian memahami ajaran agama hanya dengan didasarkan kepada “hawa nafsu” belaka.
3. Kalangan yang mengingkari bid’ah hasanah terkadang berkata: “Hadits riwayat Imam Muslim: “Man Sanna Fi al-Islam Sunnatan Hasanatan…” sebab munculnya adalah bahwa beberapa orang yang sangat fakir memakai pakaian dari kulit hewan yang dilubangi tengahnya lalu dipakaikan dengan cara memasukkan kepala melalui lubang tersebut. Melihat keadaan tersebut wajah Rasulullah berubah dan bersedih. Lalu para sahabat bersedekah dengan harta masing-masing dan mengumpulkannya hingga menjadi cukup banyak, kemudian harta-harta itu diberikan kepada orang-orang fakir tersebut. Ketika Rasulullah melihat kejadian ini, beliau sangat senang dan lalu mengucapkan hadits di atas. Artinya, Rasulullah memuji sedekah para sahabatnya tersebut, dan urusan sedekah ini sudah maklum keutamaannya dalam agama”.
Jawab:
Dalam kaedah Ushuliyyah disebutkan:
اَلْعِبْرَةُ بِعُمُوْمِ اللَّفْظِ لاَ بِخُصُوْصِ السَّبَبِ
“Yang dijdikan sandaran itu -dalam penetapan dalil itu- adalah keumuman lafazh suatu nash, bukan dari kekhususan sebabnya”.
Dengan demikian meskipun hadits tersebut sebabnya khusus, namun lafazhnya berlaku umum. Artinya yang harus dilihat di sini adalah keumuman kandungan makna hadits tersebut, bukan kekhususan sebabnya. Karena seandainya Rasulullah bermaksud khusus dengan haditsnya tersebut, maka beliau tidak akan menyampaikannya dengan lafazh yang umum. Pendapat orang-orang anti bid’ah hasanah yang mengambil alasan semacam ini terlihat sangat dibuat-buat dan sungguh sangat aneh. Apakah mereka lebih mengetahui agama ini dari pada Rasulullah sendiri?!
4. Sebagian kalangan yang mengingkari bid’ah hasanah mengatakan: “Bukan hadits “Wa Kullu Bid’ah Dlalalah” yang di-takhshish oleh hadits “Man Sanna Fi al-Isalam Sunnatan Hasanah…”. Tetapi sebaliknya, hadits yang kedua ini yang di-takhshish oleh hadits hadits yang pertama”.
Jawab:
Ini adalah penafsiran “ngawur” dan “seenak perut” belaka. Pendapat semacam itu jelas tidak sesuai dengan cara para ulama dalam memahami hadits-hadits Rasulullah. Orang semacam ini sama sekali tidak faham kalimat “’Am” dan kalimat “Khas”. Al-Imam an-Nawawi ketika menjelaskan hadits “Man Sanna Fi al-Islam…”, menuliskan sebagai berikut:
فِيْهِ الْحَثُّ عَلَى الابْتِدَاءِ بِالْخَيْرَاتِ وَسَنِّ السُّنَنِ الْحَسَنَاتِ وَالتَّحْذِيْرِ مِنَ الأَبَاطِيْلِ وَالْمُسْتَقْبَحَاتِ. وَفِيْ هذَا الْحَدِيْثِ تَخْصِيْصُ قَوْلِهِ صَلّى اللهُ عَليْه وَسَلّمَ "فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ" وَأَنَّ الْمُرَادَ بِهِ الْمُحْدَثَاتُ الْبَاطِلَةُ وَالْبِدَعُ الْمَذْمُوْمَةُ.
“Dalam hadits ini terdapat anjuran untuk memulai kebaikan, dan merintis perkara-perkara baru yang baik, serta memperingatkan masyarakat dari perkara-perkara yang batil dan buruk. Dalam hadits ini juga terdapat pengkhususan terhadap hadits Nabi yang lain, yaitu terhadap hadits: “Wa Kullu Bid’ah Dlalalah”. Dan bahwa sesungguhnya bid’ah yang sesat itu adalah perkara-perkara baru yang batil dan perkara-perkara baru yang dicela”.
As-Sindi mengatakan dalam kitab Hasyiyah Ibn Majah:
قَوْلُهُ "سُنَّةً حَسَنَةً" أَيْ طَرِيْقَةً مَرْضِيَّةً يُقْتَدَى بِهَا، وَالتَّمْيِيْزُ بَيْنَ الْحَسَنَةِ وَالسَّـيِّئَةِ بِمُوَافَقَةِ أُصُوْلِ الشَّرْعِ وَعَدَمِهَا.
“Sabda Rasulullah: “Sunnatan Hasanatan…” maksudnya adalah jalan yang diridlai dan diikuti. Cara membedakan antara bid’ah hasanah dan sayyi-ah adalah dengan melihat apakah sesuai dengan dalil-dalil syara’ atau tidak”.
Al-Hafizh Ibn Hajar al-'Asqalani dalam kitab Fath al-Bari menuliskan sebagai berikut:
وَالتَّحْقِيْقُ أَنَّهَا إِنْ كَانَتْ مِمَّا تَنْدَرِجُ تَحْتَ مُسْتَحْسَنٍ فِيْ الشَّرْعِ فَهِيَ حَسَنَةٌ، وَإِنْ كَانَتْ مِمَّا تَنْدَرِجُ تَحْتَ مُسْتَقْبَحٍ فِيْ الشَّرْعِ فَهِيَ مُسْتَقْبَحَةٌ.
“Cara mengetahui bid’ah yang hasanah dan sayyi-ah menurut tahqiq para ulama adalah bahwa jika perkara baru tersebut masuk dan tergolong kepada hal yang baik dalam syara’ berarti termasuk bid’ah hasanah, dan jika tergolong hal yang buruk dalam syara' berarti termasuk bid’ah yang buruk” (Fath al-Bari, j. 4, hlm. 253).
Dengan demikian para ulama sendiri yang telah mengatakan mana hadits yang umum dan mana hadits yang khusus. Jika sebuah hadits bermakna khusus, maka mereka memahami betul hadits-hadits mana yang mengkhususkannya. Benar, para ulama juga yang mengetahui mana hadits yang mengkhususkan dan mana yang dikhususkan. Bukan semacam mereka yang membuat pemahaman sendiri yang sama sekali tidak di dasarkan kepada ilmu.
Dari penjelasan ini juga dapat diketahui bahwa penilaian terhadap sebuah perkara yang baru, apakah ia termasuk bid’ah hasanah atau termasuk sayyi-ah, adalah urusan para ulama. Mereka yang memiliki keahlian untuk menilai sebuah perkara, apakah masuk kategori bid’ah hasanah atau sayyi-ah. Bukan orang-orang awam atau orang yang menganggap dirinya alim padahal kenyataannya ia tidak paham sama sekali.
5. Kalangan yang mengingkari bid’ah hasanah mengatakan: “Bid’ah yang diperbolehkan adalah bid’ah dalam urusan dunia. Dan definisi bid’ah dalam urusan dunia ini sebenarnya bid’ah dalam tinjauan bahasa saja. Sedangkan dalam urusan ibadah, bid’ah dalam bentuk apapun adalah sesuatu yang haram, sesat bahkan mendekati syirik”.
Jawab:
Subhanallah al-'Azhim. Apakah berjama'ah di belakang satu imam dalam shalat Tarawih, membaca kalimat talbiyah dengan menambahkan atas apa yang telah diajarkan Rasulullah seperti yang dilakukan oleh sahabat ‘Umar ibn al-Khaththab, membaca tahmid ketika i'tidal dengan kalimat “Rabbana Wa Laka al-Hamd Handan Katsiran Thayyiban Mubarakan Fih”, membaca doa Qunut, melakukan shalat Dluha yang dianggap oleh sahabat ‘Abdullah ibn ‘Umar sebagai bid’ah hasanah, apakah ini semua bukan dalam masalah ibadah?! Apakah ketika seseorang menuliskan shalawat: “Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam” atas Rasulullah tidak sedang beribadah?! Apakah orang yang membaca al-Qur’an yang ada titik dan harakat i'rab-nya tidak sedang beribadah kepada Allah?! Apakah orang yang membaca al-Qur’an tersebut hanya “bercanda” dan “iseng” saja, bahwa ia tidak akan memperoleh pahala karena membaca al-Qur’an yang ada titik dan harakat i'rab-nya?! Sahabat ‘Abdullah ibn ‘Umar yang nyata-nyata dalam shalat, di dalam tasyahhud-nya menambahkan “Wahdahu La Syarika Lahu”, apakah ia tidak sedang melakukan ibadah?! Hasbunallah.
Kemudian dari mana ada pemilahan bid’ah secara bahasa (Bid’ah Lughawiyyah) dan bid’ah secara syara'?! Bukankah ketika sebuah lafazh diucapkan oleh para ulama, yang notebene sebagai pembawa ajaran syari’at, maka harus dipahami dengan makna syar'i dan dianggap sebagai haqiqah syar'iyyah?! Bukankah ‘Umar ibn al-Khatththab dan ‘Abdullah ibn Umar mengetahui makna bid’ah dalam syara', lalu kenapa kemudian mereka memuji sebagian bid’ah dan mengatakannya sebagai bid’ah hasanah, bukankah itu berarti bahwa kedua orang sahabat Rasulullah yang mulia dan alim ini memahami adanya bid’ah hasanah dalam agama?! Siapa berani mengatakan bahwa kedua sahabat agung ini tidak pernah mendengar hadits Nabi “Kullu Bid’ah Dlalalah”?! Ataukah siapa yang berani mengatakan bahwa dua sahabat agung tidak memahami makna “Kullu” dalam hadits “Kullu Bid’ah Dlalalh” ini?!
Kita katakan kepada mereka yang anti terhadap bid’ah hasanah: “Sesungguhnya sahabat ‘Umar ibn al-Khaththab dan sahabat ‘Abdullah ibn ‘Umar, juga para ulama, telah benar-benar mengetahui adanya kata “Kull” di dalam hadits tersebut. Hanya saja orang-orang yang mulia ini memahami hadits tersebut tidak seperti pemahaman orang-orang Wahhabiyyah yang sempit pemahamannya ini. Para ulama kita tahu bahwa ada beberapa hadits shahih yang jika tidak dikompromikan maka satu dengan lainnya akan saling bertentangan. Oleh karenanya, mereka mengkompromikan hadits “Wa Kullu Bid’ah Dlalalah” dengan hadits “Man Sanna Fi al-Islam Sunnatan Hasanatan…”, bahwa hadits yang pertama ini di-takhshish dengan hadits yang kedua. Sehingga maknanya menjadi: “Setiap bid’ah Sayyi-ah adalah sesat”, bukan “Setiap bid’ah itu sesat”.
Pemahaman ini sesuai dengan hadits lainnya, yaitu sabda Rasulullah:
مَنْ ابْتَدَعَ بِدْعَةً ضَلاَلَةً لاَ تُرْضِي اللهَ وَرَسُوْلَهُ كَانَ عَلَيْهِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ عَمِلَ بِهَا لاَ يَنْقُصُ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَىْءٌ (رواه الترمذيّ وابن ماجه)
“Barangsiapa merintis suatu perkara baru yang sesat yang tidak diridlai oleh Allah dan Rasul-Nya, maka ia terkena dosa orang-orang yang mengamalkannya, tanpa mengurangi dosa-dosa mereka sedikitpun”. (HR. at-Tirmidzi dan Ibn Majah)
Inilah pemahaman yang telah dijelaskan oleh para ulama kita sebagai Waratsah al-Anbiya’.
6. Kalangan yang mengingkari adanya bid’ah hasanah mengatakan: “Perkara-perkara baru tersebut tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah, dan para sahabat tidak pernah melakukannya pula. Seandainya perkara-perkara baru tersebut sebagai sesuatu yang baik niscaya mereka telah mendahului kita dalam melakukannya”.
Jawab:
Baik, Rasulullah tidak melakukannya, apakah beliau melarangnya? Jika mereka berkata: Rasulullah melarang secara umum dengan sabdanya: “Kullu Bid’ah Dlalalah”. Kita jawab: Rasulullah juga telah bersabda: “Man Sanna Fi al-Islam Sunnatan Hasanatan Fa Lahu Ajruha Wa Ajru Man ‘Amila Biha…”.
Bila mereka berkata: Adakah kaedah syara' yang mengatakan bahwa apa yang tidak dilakukan oleh Rasulullah adalah bid’ah yang diharamkan? Kita jawab: Sama sekail tidak ada.
Lalu kita katakan kepada mereka: Apakah suatu perkara itu hanya baru dianggap mubah (boleh) atau sunnah setelah Rasulullah sendiri yang langsung melakukannya?! Apakah kalian mengira bahwa Rasulullah telah melakukan semua perkara mubah?! Jika demikian halnya, kenapa kalian memakai Mushaf (al-Qur’an) yang ada titik dan harakat i'rab-nya?! Padahal jelas hal itu tidak pernah dibuat oleh Rasulullah, atau para sahabatnya! Apakah kalian tidak tahu kaedah Ushuliyyah mengatakan:
التَّرْكُ لاَ يَقْتَضِي التَّحْرِيْم
“Meninggalkan suatu perkara tidak tidak menunjukkan bahwa perkara tersebut sesuatu yang haram”.
Artinya, ketika Rasulullah atau para sahabatnya tidak melakukan suatu perkara tidak berarti kemudian perkara tersebut sebagai sesuatu yang haram.
Sudah maklum, bahwa Rasulullah berasal dari bangsa manusia, tidak mungkin beliau harus melakukan semua hal yang Mubah. Jangankan melakukannya semua perkara mubah, menghitung semua hal-hal yang mubah saja tidak bisa dilakukan oleh seorangpun. Hal ini karena Rasulullah disibukan dalam menghabiskan sebagian besar waktunya untuk berdakwah, mendebat orang-orang musyrik dan ahli kitab, memerangi orang-orang kafir, melakukan perjanjian damai dan kesepakatan gencatan senjata, menerapkan hudud, mempersiapkan dan mengirim pasukan-pasukan perang, mengirim para penarik zakat, menjelaskan hukum-hukum dan lainnya.
Bahkan dengan sengaja Rasulullah kadang meninggalkan beberapa perkara sunnah karena takut dianggap wajib oleh ummatnya. Atau sengaja beliau kadang meninggalkan beberapa perkara sunnah hanya karena khawatir akan memberatkan ummatnya jika beliau terus melakukan perkara sunnah tersebut. Dengan demikian orang yang mengharamkan satu perkara hanya dengan alasan karena perkara tersebut tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah adalah pendapat orang yang tidak mengerti ahwal Rasulullah dan tidak memahami kaedah-kaedah agama.
Kesimpulan
Dari penjelasan yang cukup panjang ini kita dapat mengetahui dengan jelas bahwa para sahabat Rasulullah, para tabi'in, para ulama Salaf dan para ulama Khalaf, mereka semuanya memahami pembagian bid’ah kepada dua bagian; bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi-ah. Yang kita sebutkan dalam tulisan ini bukan hanya pendapat dari satu atau dua orang ulama saja, melainkan sekian banyak ulama dari kalangan Salaf dan Khalaf di atas keyakinan ini. Lembaran buku ini tidak akan cukup bila harus semua nama mereka kita kutip di sini.
Dengan demikian bila ada orang yang menyesatkan pembagian bid’ah kepada dua bagian ini, maka berarti ia telah menyesatkan seluruh ulama dari masa para sahabat Nabi hingga sekarang ini. Dari sini kita bertanya, apakah kemudian hanya dia sendiri yang benar, sementara semua ulama tersebut adalah orang-orang sesat?! Tentu terbalik, dia sendiri yang sesat, dan para ulama tersebut di atas kebenaran. Orang atau kelompok yang “keras kepala” seperti ini hendaklah menyadari bahwa mereka telah menyempal dari para ulama dan mayoritas ummat Islam. Adakah mereka merasa lebih memahami al-Qur’an dan Sunnah dari pada para Sahabat, para Tabi’in, para ulama Salaf, para ulama Hadits, Fikih dan lainnya?! Hasbunallah.
Pengertian Bid’ah
Bid’ah dalam pengertian bahasa adalah:
مَا أُحْدِثَ عَلَى غَيْرِ مِثَالٍ سَابِقٍ
“Sesuatu yang diadakan tanpa ada contoh sebelumnya”.
Seorang ahli bahasa terkemuka, Ar-Raghib al-Ashfahani dalam kitab Mu’jam Mufradat Alfazh al-Qur’an, menuliskan sebagai berikut:
اَلإِبْدَاعُ إِنْشَاءُ صَنْعَةٍ بِلاَ احْتِذَاءٍ وَاقْتِدَاءٍ. وَإِذَا اسْتُعْمِلَ فِيْ اللهِ تَعَالَى فَهُوَ إِيْجَادُ الشَّىْءِ بِغَيْرِ ءَالَةٍ وَلاَ مآدَّةٍ وَلاَ زَمَانٍ وَلاَ مَكَانٍ، وَلَيْسَ ذلِكَ إِلاَّ للهِ. وَالْبَدِيْعُ يُقَالُ لِلْمُبْدِعِ نَحْوُ قَوْلِهِ: (بَدِيْعُ السّمَاوَاتِ وَالأرْض) البقرة:117، وَيُقَالُ لِلْمُبْدَعِ –بِفَتْحِ الدَّالِ- نَحْوُ رَكْوَةٍ بَدِيْعٍ. وَكَذلِكَ الْبِدْعُ يُقَالُ لَهُمَا جَمِيْعًا، بِمَعْنَى الْفَاعِلِ وَالْمَفْعُوْلِ. وَقَوْلُهُ تَعَالَى: (قُلْ مَا كُنْتُ بِدْعًا مِنَ الرُّسُل) الأحقاف: 9، قِيْلَ مَعْنَاهُ: مُبْدَعًا لَمْ يَتَقَدَّمْنِيْ رَسُوْلٌ، وَقِيْلَ: مُبْدِعًا فِيْمَا أَقُوْلُهُ.اهـ
“Kata Ibda’ artinya merintis sebuah kreasi baru tanpa mengikuti dan mencontoh sesuatu sebelumnya. Kata Ibda’ jika digunakan pada hak Allah, maka maknanya adalah penciptaan terhadap sesuatu tanpa alat, tanpa bahan, tanpa masa dan tanpa tempat. Kata Ibda’ dalam makna ini hanya berlaku bagi Allah saja. Kata al-Badi’ digunakan untuk al-Mubdi’ (artinya yang merintis sesuatu yang baru). Seperti dalam firman (Badi’ as-Samawat Wa al-Ardl), artinya: “Allah Pencipta langit dan bumi…”. Kata al-Badi’ juga digunakan untuk al-Mubda’ (artinya sesuatu yang dirintis). Seperti kata Rakwah Badi’, artinya: “Bejana air yang unik (dengan model baru)”. Demikian juga kata al-Bid'u digunakan untuk pengertian al-Mubdi’ dan al-Mubda’, artinya berlaku untuk makna Fa’il (pelaku) dan berlaku untuk makna Maf’ul (obyek). Firman Allah dalam QS. al-Ahqaf: 9 (Qul Ma Kuntu Bid’an Min ar-Rusul), menurut satu pendapat maknanya adalah: “Katakan Wahai Muhammad, Aku bukan Rasul pertama yang belum pernah didahului oleh rasul sebelumku” (artinya penggunaan dalam makna Maf’ul)”, menurut pendapat lain makna ayat tersebut adalah: “Katakan wahai Muhammad, Aku bukanlah orang yang pertama kali menyampaikan apa yang aku katakan” (artinya penggunaan dalam makna Fa’il)” (Mu’jam Mufradat Alfazh al-Qur’an, h. 36).
Dalam pengertian syari’at, bid’ah adalah:
اَلْمُحْدَثُ الَّذِيْ لَمْ يَنُصَّ عَلَيْهِ الْقُرْءَانُ وَلاَ جَاءَ فِيْ السُّـنَّةِ.
“Sesuatu yang baru yang tidak terdapat penyebutannya secara tertulis, baik di dalam al-Qur’an maupun dalam hadits”. (Sharih al-Bayan, j. 1, h. 278)
Seorang ulama bahasa terkemuka, Abu Bakar Ibn al-‘Arabi menuliskan sebagai berikut:
لَيْسَتْ البِدْعَةُ وَالْمُحْدَثُ مَذْمُوْمَيْنِ لِلَفْظِ بِدْعَةٍ وَمُحْدَثٍ وَلاَ مَعْنَيَيْهِمَا، وَإِنَّمَا يُذَمُّ مِنَ البِدْعَةِ مَا يُخَالِفُ السُّـنَّةَ، وَيُذَمُّ مِنَ الْمُحْدَثَاتِ مَا دَعَا إِلَى الضَّلاَلَةِ.
“Perkara yang baru (Bid’ah atau Muhdats) tidak pasti tercela hanya karena secara bahasa disebut Bid’ah atau Muhdats, atau dalam pengertian keduanya. Melainkan Bid’ah yang tercela itu adalah perkara baru yang menyalahi sunnah, dan Muhdats yang tercela itu adalah perkara baru yang mengajak kepada kesesatan”.
Macam-Macam Bid’ah
Bid’ah terbagi menjadi dua bagian:
Pertama: Bid’ah Dlalalah. Disebut pula dengan Bid’ah Sayyi-ah atau Sunnah Sayyi-ah. Yaitu perkara baru yang menyalahi al-Qur’an dan Sunnah.
Kedua: Bid’ah Huda atau disebut juga dengan Bid’ah Hasanah atau Sunnah Hasanah. Yaitu perkara baru yang sesuai dan sejalan dengan al-Qur’an dan Sunnah.
Al-Imam asy-Syafi’i berkata :
الْمُحْدَثَاتُ مِنَ اْلأُمُوْرِ ضَرْبَانِ : أَحَدُهُمَا : مَا أُحْدِثَ ِممَّا يُخَالـِفُ كِتَابًا أَوْ سُنَّةً أَوْ أَثرًا أَوْ إِجْمَاعًا ، فهَذِهِ اْلبِدْعَةُ الضَّلاَلـَةُ، وَالثَّانِيَةُ : مَا أُحْدِثَ مِنَ الْخَيْرِ لاَ خِلاَفَ فِيْهِ لِوَاحِدٍ مِنْ هذا ، وَهَذِهِ مُحْدَثَةٌ غَيْرُ مَذْمُوْمَةٍ (رواه الحافظ البيهقيّ في كتاب " مناقب الشافعيّ)
“Perkara-perkara baru itu terbagi menjadi dua bagian. Pertama: Perkara baru yang menyalahi al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ atau menyalahi Atsar (sesuatu yang dilakukan atau dikatakan sahabat tanpa ada di antara mereka yang mengingkarinya), perkara baru semacam ini adalah bid’ah yang sesat. Kedua: Perkara baru yang baru yang baik dan tidak menyalahi al-Qur’an, Sunnah, maupun Ijma’, maka sesuatu yang baru seperti ini tidak tercela”. (Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dengan sanad yang Shahih dalam kitab Manaqib asy-Syafi’i) (Manaqib asy-Syafi’i, j. 1, h. 469).
Dalam riwayat lain al-Imam asy-Syafi’i berkata:
اَلْبِدْعَةُ بِدْعَتَانِ: بِدْعَةٌ مَحْمُوْدَةٌ وَبِدْعَةٌ مَذْمُوْمَةٌ، فَمَا وَافَقَ السُّـنَّةَ فَهُوَ مَحْمُوْدٌ وَمَا خَالَفَهَا فَهُوَ مَذْمُوْمٌ.
“Bid’ah ada dua macam: Bid’ah yang terpuji dan bid’ah yang tercela. Bid’ah yang sesuai dengan Sunnah adalah bid’ah terpuji, dan bid’ah yang menyalahi Sunnah adalah bid’ah tercela”. (Dituturkan oleh al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fath al-Bari)
Pembagian bid’ah menjadi dua oleh Imam Syafi'i ini disepakati oleh para ulama setelahnya dari seluruh kalangan ahli fikih empat madzhab, para ahli hadits, dan para ulama dari berbagai disiplin ilmu. Di antara mereka adalah para ulama terkemuka, seperti al-‘Izz ibn Abd as-Salam, an-Nawawi, Ibn ‘Arafah, al-Haththab al-Maliki, Ibn ‘Abidin dan lain-lain. Dari kalangan ahli hadits di antaranya Ibn al-'Arabi al-Maliki, Ibn al-Atsir, al-Hafizh Ibn Hajar, al-Hafzih as-Sakhawi, al-Hafzih as-Suyuthi dan lain-lain. Termasuk dari kalangan ahli bahasa sendiri, seperti al-Fayyumi, al-Fairuzabadi, az-Zabidi dan lainnya.
Dengan demikian bid’ah dalam istilah syara’ terbagi menjadi dua: Bid’ah Mahmudah (bid’ah terpuji) dan Bid’ah Madzmumah (bid’ah tercela).
Pembagian bid’ah menjadi dua bagian ini dapat dipahami dari hadits ‘Aisyah, bahwa ia berkata: Rasulullah bersabda:
مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ (رواه البخاريّ ومسلم)
“Barang siapa yang berbuat sesuatu yang baharu dalam syari’at ini yang tidak sesuai dengannya, maka ia tertolak”. (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Dapat dipahami dari sabda Rasulullah: “Ma Laisa Minhu”, artinya “Yang tidak sesuai dengannya”, bahwa perkara baru yang tertolak adalah yang bertentangan dan menyalahi syari’at. Adapun perkara baru yang tidak bertentangan dan tidak menyalahi syari’at maka ia tidak tertolak.
Bid’ah dilihat dari segi wilayahnya terbagi menjadi dua bagian; Bid’ah dalam pokok-pokok agama (Ushuluddin) dan bid’ah dalam cabang-cabang agama, yaitu bid’ah dalam Furu’, atau dapat kita sebut Bid’ah ‘Amaliyyah. Bid’ah dalam pokok-pokok agama (Ushuluddin) adalah perkara-perkara baru dalam masalah akidah yang menyalahi akidah Rasulullah dan para sahabatnya.
Dalil-Dalil Bid’ah Hasanah
Al-Muhaddits al-‘Allamah as-Sayyid ‘Abdullah ibn ash-Shiddiq al-Ghumari al-Hasani dalam kitab Itqan ash-Shun’ah Fi Tahqiq Ma’na al-Bid’ah, menuliskan bahwa di antara dalil-dalil yang menunjukkan adanya bid’ah hasanah adalah sebagai berikut (Lihat Itqan ash-Shun’ah, h. 17-28):
1. Firman Allah dalam QS. al-Hadid: 27:
وَجَعَلْنَا فِي قُلُوبِ الَّذِينَ اتَّبَعُوهُ رَأْفَةً وَرَحْمَةً وَرَهْبَانِيَّةً ابْتَدَعُوهَا مَا كَتَبْنَاهَا عَلَيْهِمْ إِلَّا ابْتِغَاءَ رِضْوَانِ اللَّهِ (الحديد: 27)
“Dan Kami (Allah) jadikan dalam hati orang-orang yang mengikutinya (Nabi ‘Isa) rasa santun dan kasih sayang, dan mereka mengada-adakan rahbaniyyah, padahal Kami tidak mewajibkannya kepada mereka, tetapi (mereka sendirilah yang mengada-adakannya) untuk mencari keridhaan Allah” (Q.S. al-Hadid: 27)
Ayat ini adalah dalil tentang adanya bid’ah hasanah. Dalam ayat ini Allah memuji ummat Nabi Isa terdahulu, mereka adalah orang-orang muslim dan orang-orang mukmin berkeyakinan akan kerasulan Nabi Isa dan bahwa berkeyakinan bahwa hanya Allah yang berhak disembah. Allah memuji mereka karena mereka kaum yang santun dan penuh kasih sayang, juga karena mereka merintis rahbaniyyah. Praktek Rahbaniyyah adalah perbuatan menjauhi syahwat duniawi, hingga mereka meninggalkan nikah, karena ingin berkonsentrasi dalam beribadah kepada Allah.
Dalam ayat di atas Allah mengatakan “Ma Katabnaha ‘Alaihim”, artinya: “Kami (Allah) tidak mewajibkan Rahbaniyyah tersebut atas mereka, melainkan mereka sendiri yang membuat dan merintis Rahbaniyyah itu untuk tujuan mendekatkan diri kepada Allah”. dalam ayat ini Allah memuji mereka, karena mereka merintis perkara baru yang tidak ada nash-nya dalam Injil, juga tidak diwajibkan bahkan tidak sama sekali tidak pernah dinyatakan oleh Nabi ‘Isa al-Masih kepada mereka. Melainkan mereka yang ingin berupaya semaksimal mungkin untuk taat kepada Allah, dan berkonsentrasi penuh untuk beribadah kepada-Nya dengan tidak menyibukkan diri dengan menikah, menafkahi isteri dan keluarga. Mereka membangun rumah-rumah kecil dan sederhana dari tanah atau semacamnya di tempat-tempat sepi dan jauh dari orang untuk beribadah sepenuhnya kepada Allah.
2. Hadits sahabat Jarir ibn Abdillah al-Bajali, bahwa ia berkata: Rasulullah bersabda:
مَنْ سَنَّ فِيْ الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَىْءٌ، وَمَنْ سَنَّ فِيْ الإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَىْءٌ (رواه مسلم)
“Barang siapa merintis (memulai) dalam agama Islam sunnah (perbuatan) yang baik maka baginya pahala dari perbuatannya tersebut, dan pahala dari orang yang melakukannya (mengikutinya) setelahnya, tanpa berkurang sedikitpun dari pahala mereka. Dan barang siapa merintis dalam Islam sunnah yang buruk maka baginya dosa dari perbuatannya tersebut, dan dosa dari orang yang melakukannya (mengikutinya) setelahnya tanpa berkurang dari dosa-dosa mereka sedikitpun”. (HR. Muslim)
Dalam hadits ini dengan sangat jelas Rasulullah mengatakan: “Barangsiapa merintis sunnah hasanah…”. Pernyataan Rasulullah ini harus dibedakan dengan pengertian anjuran beliau untuk berpegangteguh dengan sunnah (at-Tamassuk Bis-Sunnah) atau pengertian menghidupkan sunnah yang ditinggalkan orang (Ihya’ as-Sunnah). Karena tentang perintah untuk berpegangteguh dengan sunnah atau menghidupkan sunnah ada hadits-hadits tersendiri yang menjelaskan tentang itu. Sedangkan hadits riwayat Imam Muslim ini berbicara tentang merintis sesuatu yang baru yang baik yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Karena secara bahasa makna “sanna” tidak lain adalah merintis perkara baru, bukan menghidupkan perkara yang sudah ada atau berpegang teguh dengannya.
3. Hadits ‘Aisyah, bahwa ia berkata: Rasulullah bersabda:
مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ (رواه البخاريّ ومسلم)
“Barang siapa yang berbuat sesuatu yang baharu dalam syari'at ini yang tidak sesuai dengannya, maka ia tertolak”. (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Hadits ini dengan sangat jelas menunjukkan tentang adanya bid’ah hasanah. Karena seandainya semua bid’ah pasti sesat tanpa terkecuali, niscaya Rasulullah akan mengatakan “Barangsiapa merintis hal baru dalam agama kita ini apapun itu, maka pasti tertolak”. Namun Rasulullah mengatakan, sebagaimana hadits di atas: “Barangsiapa merintis hal baru dalam agama kita ini yang tidak sesuai dengannya, artinya yang bertentangan dengannya, maka perkara tersebut pasti tertolak”.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa perkara yang baru itu ada dua bagian: Pertama, yang tidak termasuk dalam ajaran agama, karena menyalahi kaedah-kaedah dan dalil-dalil syara’, perkara baru semacam ini digolongkan sebagai bid’ah yang sesat. Kedua, perkara baru yang sesuai dengan kaedah dan dalil-dalil syara’, perkara baru semacam ini digolongkan sebagai perkara baru yang dibenarkan dan diterima, ialah yang disebut dengan bid’ah hasanah.
4. Dalam sebuah hadits shahih riwayat al-Imam al-Bukhari dalam kitab Shahih-nya disebutkan bahwa sahabat ‘Umar ibn al-Khaththab secara tegas mengatakan tentang adanya bid’ah hasanah. Ialah bahwa beliau menamakan shalat berjama’ah dalam shalat tarawih di bulan Ramadlan sebagai bid’ah hasanah. Beliau memuji praktek shalat tarawih berjama’ah ini, dan mengatakan: “Ni’mal Bid’atu Hadzihi”. Artinya, sebaik-baiknya bid’ah adalah shalat tarawih dengan berjama’ah.
Kemudian dalam hadits Shahih lainnya yang diriwayatkan oleh Imam Muslim disebutkan bahwa sahabat ‘Umar ibn al-Khaththab ini menambah kalimat-kalimat dalam bacaan talbiyah terhadap apa yang telah diajarkan oleh Rasulullah. Bacaan talbiyah beliau adalah:
لَبَّيْكَ اللّهُمَّ لَبَّيْكَ وَسَعْدَيْكَ، وَالْخَيْرُ فِيْ يَدَيْكَ، وَالرَّغْبَاءُ إِلَيْكَ وَالْعَمَلُ
5. Dalam hadits riwayat Abu Dawud disebutkan bahwa ‘Abdullah ibn ‘Umar ibn al-Khaththab menambahkan kalimat Tasyahhud terhadap kalimat-kalimat Tasyahhud yang telah diajarkan oleh Rasulullah. Dalam Tasayahhud-nya ‘Abdullah ibn ‘Umar mengatakan:
أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ.
Tentang kaliamat tambahan dalam Tasyahhud-nya ini, ‘Abdullah ibn ‘Umar berkata: “Wa Ana Zidtuha...”, artinya: “Saya sendiri yang menambahkan kalimat “Wahdahu La Syarika Lah”.
6. ‘Abdullah ibn ‘Umar menganggap bahwa shalat Dluha sebagai bid’ah, karena Rasulullah tidak pernah melakukannya. Tentang shalat Dluha ini beliau berkata:
إِنَّهَا مُحْدَثَةٌ وَإِنَّهَا لَمِنْ أَحْسَنِ مَا أَحْدَثُوْا (رواه سعيد بن منصور بإسناد صحيح)
“Sesungguhnya shalat Dluha itu perkara baru, dan hal itu merupakan salah satu perkara terbaik dari apa yang mereka rintis”. (HR. Sa’id ibn Manshur dengan sanad yang Shahih)
Dalam riwayat lain, tentang shalat Dluha ini sahabat ‘Abdullah ibn ‘Umar mengatakan:
بِدْعَةٌ وَنِعْمَتْ البِدْعَةُ (رواه ابن أبي شيبة)
“Shalat Dluha adalah bid’ah, dan ia adalah sebaik-baiknya bid’ah”. (HR. Ibn Abi Syaibah)
Riwayat-riwayat ini dituturkan oleh al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fath al-Bari dengan sanad yang shahih.
7. Dalam sebuah hadits shahih, al-Imam al-Bukhari meriwayatkan dari sahabat Rifa'ah ibn Rafi’, bahwa ia (Rifa’ah ibn Rafi’) berkata: “Suatu hari kami shalat berjama’ah di belakang Rasulullah. Ketika beliau mengangkat kepala setelah ruku’, beliau membaca: “Sami’allahu Lima Hamidah”. Tiba-tiba salah seorang makmum berkata:
رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ حَمْدًا كَثِيْرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيْهِ
Setelah selesai shalat, Rasulullah bertanya: “Siapakah tadi yang mengatakan kalimat-kalimat itu?”. Orang yang yang dimaksud menjawab: “Saya Wahai Rasulullah...”. Lalu Rasulullah berkata:
رَأَيْتُ بِضْعَةً وَثَلاَثِيْنَ مَلَكًا يَبْتَدِرُوْنَهَا أَيُّهُمْ يَكْتُبُهَا أَوَّلَ
“Aku melihat lebih dari tiga puluh Malaikat berlomba untuk menjadi yang pertama mencatatnya”.
Al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fath al-Bari, mengatakan: “Hadits ini adalah dalil yang menunjukkan akan kebolehan menyusun bacaan dzikir di dalam shalat yang tidak ma’tsur, selama dzikir tersebut tidak menyalahi yang ma’tsur” (Fath al-Bari, j. 2, h. 287).
7. al-Imam an-Nawawi, dalam kitab Raudlah ath-Thalibin, tentang doa Qunut, beliau menuliskan sebagai berikut:
هذَا هُوَ الْمَرْوِيُّ عَنِ النَّبِيِّ صَلّى اللهُ عَليهِ وَسَلّمَ وَزَادَ الْعُلَمَاءُ فِيْهِ: "وَلاَ يَعِزُّ مَنْ عَادَيْتَ" قَبْلَ "تَبَارَكْتَ وَتَعَالَيْتَ" وَبَعْدَهُ: "فَلَكَ الْحَمْدُ عَلَى مَا قَضَيْتَ، أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوْبُ إِلَيْكَ". قُلْتُ: قَالَ أَصْحَابُنَا: لاَ بَأْسَ بِهذِهِ الزِّيَادَةِ. وَقَالَ أَبُوْ حَامِدٍ وَالْبَنْدَنِيْجِيُّ وَءَاخَرُوْنَ: مُسْتَحَبَّةٌ.
“Inilah lafazh Qunut yang diriwayatkan dari Rasulullah. Lalu para ulama menambahkan kalimat: “Wa La Ya’izzu Man ‘Adaita” sebelum “Tabarakta Wa Ta’alaita”. Mereka juga menambahkan setelahnya, kalimat “Fa Laka al-Hamdu ‘Ala Ma Qadlaita, Astaghfiruka Wa Atubu Ilaika”. Saya (an-Nawawi) katakan: Ashab asy-Syafi’i mengatakan: “Tidak masalah (boleh) dengan adanya tambahan ini”. Bahkan Abu Hamid, dan al-Bandanijiyy serta beberapa Ashhab yang lain mengatakan bahwa bacaan tersebut adalah sunnah” (Raudlah ath-Thalibin, j. 1, h. 253-254).
Beberapa Contoh Bid’ah Hasanah Dan Bid’ah Sayyi-ah
Berikut ini beberapa contoh Bid’ah Hasanah. Di antaranya:
1. Shalat Sunnah dua raka’at sebelum dibunuh. Orang yang pertama kali melakukannya adalah Khubaib ibn ‘Adiyy al-Anshari; salah seorang sahabat Rasulullah. Tentang ini Abu Hurairah berkata:
فَكَانَ خُبَيْبٌ أَوَّلَ مَنْ سَنَّ الصَّلاَةَ عِنْدَ الْقَتْلِ (رواه البخاريّ)
“Khubaib adalah orang yang pertama kali merintis shalat ketika akan dibunuh”. (HR. al-Bukhari dalam kitab al-Maghazi, Ibn Abi Syaibah dalam kitab al-Mushannaf)
Lihatlah, bagaimana sahabat Abu Hurairah menggunakan kata “Sanna” untuk menunjukkan makna “merintis”, membuat sesuatu yang baru yang belaum ada sebelumnya. Jelas, makna “sanna” di sini bukan dalam pengertian berpegang teguh dengan sunnah, juga bukan dalam pengertian menghidupkan sunnah yang telah ditinggalkan orang.
Salah seorang dari kalangan tabi'in ternama, yaitu al-Imam Ibn Sirin, pernah ditanya tentang shalat dua raka’at ketika seorang akan dibunuh, beliau menjawab:
صَلاَّهُمَا خُبَيْبٌ وَحُجْرٌ وَهُمَا فَاضِلاَنِ.
“Dua raka’at shalat sunnah tersebut tersebut pernah dilakukan oleh Khubaib dan Hujr bin Adiyy, dan kedua orang ini adalah orang-orang (sahabat Nabi) yang mulia”. (Diriwayatkan oleh Ibn Abd al-Barr dalam kitab al-Isti’ab) (al-Isti’ab Fi Ma’rifah al-Ash-hab, j. 1, h. 358)
2. Penambahan Adzan Pertama sebelum shalat Jum’at oleh sahabat Utsman bin ‘Affan. (HR. al-Bukhari dalam Kitab Shahih al-Bukhari pada bagian Kitab al-Jum'ah).
3. Pembuatan titik-titik dalam beberapa huruf al-Qur’an oleh Yahya ibn Ya’mur. Beliau adalah salah seorang tabi'in yang mulia dan agung. Beliau seorang yang alim dan bertaqwa. Perbuatan beliau ini disepakati oleh para ulama dari kalangan ahli hadits dan lainnya. Mereka semua menganggap baik pembuatan titik-titik dalam beberapa huruf al-Qur’an tersebut. Padahal ketika Rasulullah mendiktekan bacaan-bacaan al-Qur’an tersebut kepada para penulis wahyu, mereka semua menuliskannya dengan tanpa titik-titik sedikitpun pada huruf-hurufnya.
Demikian pula di masa Khalifah ‘Utsman ibn ‘Affan, beliau menyalin dan menggandakan mush-haf menjadi lima atau enam naskah, pada setiap salinan mush-haf-mush-haf tersebut tidak ada satu-pun yang dibuatkan titik-titik pada sebagian huruf-hurufnya. Namun demikian, sejak setelah pemberian titik-titik oleh Yahya bin Ya'mur tersebut kemudian semua umat Islam hingga kini selalu memakai titik dalam penulisan huruf-huruf al-Qur’an. Apakah mungkin hal ini dikatakan sebagai bid’ah sesat dengan alasan Rasulullah tidak pernah melakukannya?! Jika demikian halnya maka hendaklah mereka meninggalkan mush-haf-mush-haf tersebut dan menghilangkan titik-titiknya seperti pada masa ‘Utsman.
Abu Bakar ibn Abu Dawud, putra dari Imam Abu Dawud penulis kitab Sunan, dalam kitabnya al-Mashahif berkata: “Orang yang pertama kali membuat titik-titik dalam Mush-haf adalah Yahya bin Ya’mur”. Yahya bin Ya’mur adalah salah seorang ulama tabi'in yang meriwayatkan (hadits) dari sahabat ‘Abdullah ibn ‘Umar dan lainnya.
Demikian pula penulisan nama-nama surat di permulaan setiap surat al-Qur’an, pemberian lingkaran di akhir setiap ayat, penulisan juz di setiap permulaan juz, juga penulisan hizb, Nishf (pertengahan Juz), Rubu' (setiap seperempat juz) dalam setiap juz dan semacamnya, semua itu tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah dan para sahabatnya. Apakah dengan alasan semacam ini kemudian semua itu adalah bid’ah yang diharamkan?!
4. Pembuatan Mihrab dalam majid sebagai tempat shalat Imam, orang yang pertama kali membuat Mihrab semacam ini adalah al-Khalifah ar-Rasyid ‘Umar ibn Abd al-'Aziz di Masjid Nabawi. Perbuatan al-Khalifah ar-Rasyid ini kemudian diikuti oleh kebanyakan ummat Islam di seluruh dunia ketika mereka membangun masjid. Siapa berani mengatakan bahwa itu adalah bid’ah sesat, sementara hampir seluruh masjid di zaman sekarang memiliki mihrab?! Siapa yang tidak mengenal Khalifah ‘Umar ibn ‘Abd al-‘Aziz sebagai al-Khalifah ar-Rasyid?!
5. Peringatan Maulid Nabi adalah bid’ah hasanah sebagaimana ditegaskan oleh al-Hafizh Ibn Dihyah (abad 7 H), al-Hafizh al-'Iraqi (W 806 H), al-Hafizh Ibn Hajar al-'Asqalani (W 852 H), al-Hafizh as-Suyuthi (W 911 H), al-Hafizh as-Sakhawi (W 902 H), Syekh Ibn Hajar al-Haitami (W 974 H), al-Imam Nawawi (W 676 H), al-Imam al-‘Izz ibn 'Abd as-Salam (W 660 H), Mantan Mufti Mesir; Syekh Muhammad Bakhit al-Muthi'i (W 1354 H), mantan Mufti Bairut Lebanon Syekh Mushthafa Naja (W 1351 H) dan masih banyak lagi para ulama terkemuka lainnya.
6. Membaca shalawat atas Rasulullah setelah adzan adalah bid’ah hasanah sebagaimana dijelaskan oleh al-Hafizh as-Suyuthi dalam kitab Musamarah al-Awa-il, al-Hafizh as-Sakhawi dalam kitab al-Qaul al-Badi’, al-Haththab al-Maliki dalam kitab Mawahib al-Jalil, dan para ulama besar lainnya.
7. Menulis kalimat “Shallallahu 'Alayhi Wa Sallam” setelah menulis nama Rasulullah termasuk bid’ah hasanah. Karena Rasulullah dalam surat-surat yang beliau kirimkan kepada para raja dan para penguasa di masa beliau hidup tidak pernah menulis kalimat shalawat semacam itu. Dalam surat-suratnya, Rasulullah hanya menuliskan: “Min Muhammad Rasulillah Ila Fulan…”, artinya: “Dari Muhammad Rasulullah kepada Si Fulan…”.
8. Beberapa Tarekat yang dirintis oleh para wali Allah dan orang-orang saleh. Seperti tarekat ar-Rifa'iyyah, al-Qadiriyyah, an-Naqsyabandiyyah dan lainnya yang kesemuanya berjumlah sekitar 40 tarekat. Pada asalnya, tarekat-tarekat ini adalah bid’ah hasanah, namun kemudian sebagian pengikut beberapa tarekat ada yang menyimpang dari ajaran dasarnya. Namun demikian hal ini tidak lantas menodai tarekat pada peletakan atau tujuan awalnya.
Berikut ini beberapa contoh Bid’ah Sayyi-ah. di antaranya sebagai berikut:
1. Bid’ah-bid’ah dalam masalah pokok-pokok agama (Ushuluddin), di antaranya seperti:
A. Bid’ah Pengingkaran terhadap ketentuan (Qadar) Allah. Yaitu keyakinan sesat yang mengatakan bahwa Allah tidak mentaqdirkan dan tidak menciptakan suatu apapun dari segala perbuatan ikhtiar hamba. Seluruh perbuatan manusia, -menurut keyakinan ini-, terjadi dengan penciptaan manusia itu sendiri. Sebagian dari mereka meyakini bahwa Allah tidak menciptakan keburukan. Menurut mereka, Allah hanya menciptakan kebaikan saja, sedangkan keburukan yang menciptakannya adalah hamba sendiri. Mereka juga berkeyakinan bahwa pelaku dosa besar bukan seorang mukmin, dan juga bukan seorang kafir, melainkan berada pada posisi di antara dua posisi tersebut, tidak mukmin dan tidak kafir. Mereka juga mengingkari syafa'at Nabi. Golongan yang berkeyakinan seperti ini dinamakan dengan kaum Qadariyyah. Orang yang pertama kali mengingkari Qadar Allah adalah Ma'bad al-Juhani di Bashrah, sebagaimana hal ini telah diriwayatkan dalam Shahih Muslim dari Yahya ibn Ya'mur.
B. Bid’ah Jahmiyyah. Kaum Jahmiyyah juga dikenal dengan sebutan Jabriyyah, mereka adalah pengikut Jahm ibn Shafwan. Mereka berkeyakinan bahwa seorang hamba itu majbur (dipaksa); artinya setiap hamba tidak memiliki kehendak sama sekali ketika melakukan segala perbuatannya. Menurut mereka, manusia bagaikan sehelai bulu atau kapas yang terbang di udara sesuai arah angin, ke arah kanan dan ke arah kiri, ke arah manapun, ia sama sekali tidak memiliki ikhtiar dan kehendak.
C. Bid’ah kaum Khawarij. Mereka mengkafirkan orang-orang mukmin yang melakukan dosa besar.
D. Bid’ah sesat yang mengharamkan dan mengkafirkan orang yang bertawassul dengan para nabi atau dengan orang-orang saleh setelah para nabi atau orang-orang saleh tersebut meninggal. Atau pengkafiran terhadap orang yang tawassul dengan para nabi atau orang-orang saleh di masa hidup mereka namun orang yang bertawassul ini tidak berada di hadapan mereka. Orang yang pertama kali memunculkan bid’ah sesat ini adalah Ahmad ibn ‘Abd al-Halim ibn Taimiyah al-Harrani (W 728 H), yang kemudian diambil oleh Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab dan para pengikutnya yang dikenal dengan kelompok Wahhabiyyah.
2. Bid’ah-bid’ah 'Amaliyyah yang buruk. Contohnya menulis huruf (ص) atau (صلعم) sebagai singkatan dari “Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam” setelah menuliskan nama Rasulullah. Termasuk dalam bahasa Indonesia menjadi “SAW”. Para ahli hadits telah menegaskan dalam kitab-kitab Mushthalah al-Hadits bahwa menuliskan huruf “shad” saja setelah penulisan nama Rasulullah adalah makruh. Artinya meskipun ini bid’ah sayyi-ah, namun demikian mereka tidak sampai mengharamkannya. Kemudian termasuk juga bid’ah sayyi-ah adalah merubah-rubah nama Allah dengan membuang alif madd (bacaan panjang) dari kata Allah atau membuang Ha' dari kata Allah.
Kerancuan Pendapat Yang Mengingkari Bid’ah Hasanah
1. Kalangan yang mengingkari adanya bid’ah hasanah biasa berkata: “Bukankah Rasulullah dalam hadits riwayat Abu Dawud dari sahabat al-‘Irbadl ibn Sariyah telah bersabda:
وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ (رواه أبو داود)
Ini artinya bahwa setiap perkara yang secara nyata tidak disebutkan dalam al-Qur’an dan hadits atau tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah dan atau al-Khulafa' ar-Rasyidun maka perkara tersebut dianggap sebagai bid’ah sesat .
Jawab:
Hadits ini lafazhnya umum tetapi maknanya khusus. Artinya yang dimaksud oleh Rasulullah dengan bid’ah tersebut adalah bid’ah sayyi-ah, yaitu setiap perkara baru yang menyalahi al-Qur’an, sunnah, ijma' atau atsar. Al-Imam an-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim menuliskan: “Sabda Rasulullah “Kullu Bid’ah dlalalah” ini adalah 'Amm Makhshush; artinya, lafazh umum yang telah dikhususkan kepada sebagian maknanya. Jadi yang dimaksud adalah bahwa sebagian besar bid’ah itu sesat (bukan mutlak semua bid’ah itu sesat)” (al-Minhaj Bi Syarah Shahih Muslim ibn al-Hajjaj, j. 6, hlm. 154).
Kemudian al-Imam an-Nawawi membagi bid’ah menjadi lima macam. Beliau berkata: “Jika telah dipahami apa yang telah aku tuturkan, maka dapat diketahui bahwa hadits ini termasuk hadits umum yang telah dikhususkan. Demikian juga pemahamannya dengan beberapa hadits serupa dengan ini. Apa yang saya katakan ini didukung oleh perkataan ‘Umar ibn al-Khaththab tentang shalat Tarawih, beliau berkata: “Ia (Shalat Tarawih dengan berjama’ah) adalah sebaik-baiknya bid’ah”.
Dalam penegasan al-Imam an-Nawawi, meski hadits riwayat Abu Dawud tersebut di atas memakai kata “Kullu” sebagai ta’kid, namun bukan berarti sudah tidak mungkin lagi di-takhshish. Melainkan ia tetap dapat di-takhshish. Contoh semacam ini, dalam QS. al-Ahqaf: 25, Allah berfirman:
تُدَمِّرُ كُلَّ شَيْءٍ (الأحقاف: 25)
Makna ayat ini ialah bahwa angin yang merupakan adzab atas kaum 'Ad telah menghancurkan kaum tersebut dan segala harta benda yang mereka miliki. Bukan artinya bahwa angin tersebut menghancurkan segala sesuatu secara keseluruhan, karena terbukti hingga sekarang langit dan bumi masih utuh. Padahal dalam ayat ini menggunakan kata “Kull”.
Adapun dalil-dalil yang men-takhshish hadits “Wa Kullu Bid’ah Dlalalah” riwayat Abu Dawud ini adalah hadits-hadits dan atsar-atsar yang telah disebutkan dalam dalil-dalil adanya bid’ah hasanah.
2. Kalangan yang mengingkari bid’ah hasanah biasanya berkata: “Hadits “Man Sanna Fi al-Islam Sunnatan Hasanatan…” yang telah diriwayatkan oleh Imam Muslim adalah khusus berlaku ketika Rasulullah masih hidup. Adapun setelah Rasulullah meninggal maka hal tersebut menjadi tidak berlaku lagi”.
Jawab:
Di dalam kaedah Ushuliyyah disebutkan:
لاَ تَثْبُتُ الْخُصُوْصِيَّةُ إِلاَّ بِدَلِيْلٍ
“Pengkhususan -terhadap suatu nash- itu tidak boleh ditetapkan kecuali harus berdasarkan adanya dalil”.
Kita katakan kepada mereka: “Mana dalil yang menunjukan kekhususan tersebut?! Justru sebaliknya, lafazh hadits riwayat Imam Muslim di atas menunjukkan keumuman, karena Rasulullah tidak mengatakan “Man Sanna Fi Hayati Sunnatan Hasanatan…” (Barangsiapa merintis perkara baru yang baik di masa hidupku…), atau juga tidak mengatakan: “Man ‘Amila ‘Amalan Ana ‘Amiltuh Fa Ahyahu…” (Barangsiapa mengamalkan amal yang telah aku lakukan, lalu ia menghidupkannya…). Sebaliknya Rasulullah mengatakan secara umum: “Man Sanna Fi al-Islam Sunnatan Hasanatan…”, dan tentunya kita tahu bahwa Islam itu tidak hanya yang ada pada masa Rasulullah saja”.
Kita katakan pula kepada mereka: Berani sekali kalian mengatakan hadits ini tidak berlaku lagi setelah Rasulullah meninggal?! Berani sekali kalian menghapus salah satu hadits Rasulullah?! Apakah setiap ada hadits yang bertentangan dengan faham kalian maka berarti hadits tersebut harus di-takhshish, atau harus d-nasakh (dihapus) dan tidak berlaku lagi?! Ini adalah bukti bahwa kalian memahami ajaran agama hanya dengan didasarkan kepada “hawa nafsu” belaka.
3. Kalangan yang mengingkari bid’ah hasanah terkadang berkata: “Hadits riwayat Imam Muslim: “Man Sanna Fi al-Islam Sunnatan Hasanatan…” sebab munculnya adalah bahwa beberapa orang yang sangat fakir memakai pakaian dari kulit hewan yang dilubangi tengahnya lalu dipakaikan dengan cara memasukkan kepala melalui lubang tersebut. Melihat keadaan tersebut wajah Rasulullah berubah dan bersedih. Lalu para sahabat bersedekah dengan harta masing-masing dan mengumpulkannya hingga menjadi cukup banyak, kemudian harta-harta itu diberikan kepada orang-orang fakir tersebut. Ketika Rasulullah melihat kejadian ini, beliau sangat senang dan lalu mengucapkan hadits di atas. Artinya, Rasulullah memuji sedekah para sahabatnya tersebut, dan urusan sedekah ini sudah maklum keutamaannya dalam agama”.
Jawab:
Dalam kaedah Ushuliyyah disebutkan:
اَلْعِبْرَةُ بِعُمُوْمِ اللَّفْظِ لاَ بِخُصُوْصِ السَّبَبِ
“Yang dijdikan sandaran itu -dalam penetapan dalil itu- adalah keumuman lafazh suatu nash, bukan dari kekhususan sebabnya”.
Dengan demikian meskipun hadits tersebut sebabnya khusus, namun lafazhnya berlaku umum. Artinya yang harus dilihat di sini adalah keumuman kandungan makna hadits tersebut, bukan kekhususan sebabnya. Karena seandainya Rasulullah bermaksud khusus dengan haditsnya tersebut, maka beliau tidak akan menyampaikannya dengan lafazh yang umum. Pendapat orang-orang anti bid’ah hasanah yang mengambil alasan semacam ini terlihat sangat dibuat-buat dan sungguh sangat aneh. Apakah mereka lebih mengetahui agama ini dari pada Rasulullah sendiri?!
4. Sebagian kalangan yang mengingkari bid’ah hasanah mengatakan: “Bukan hadits “Wa Kullu Bid’ah Dlalalah” yang di-takhshish oleh hadits “Man Sanna Fi al-Isalam Sunnatan Hasanah…”. Tetapi sebaliknya, hadits yang kedua ini yang di-takhshish oleh hadits hadits yang pertama”.
Jawab:
Ini adalah penafsiran “ngawur” dan “seenak perut” belaka. Pendapat semacam itu jelas tidak sesuai dengan cara para ulama dalam memahami hadits-hadits Rasulullah. Orang semacam ini sama sekali tidak faham kalimat “’Am” dan kalimat “Khas”. Al-Imam an-Nawawi ketika menjelaskan hadits “Man Sanna Fi al-Islam…”, menuliskan sebagai berikut:
فِيْهِ الْحَثُّ عَلَى الابْتِدَاءِ بِالْخَيْرَاتِ وَسَنِّ السُّنَنِ الْحَسَنَاتِ وَالتَّحْذِيْرِ مِنَ الأَبَاطِيْلِ وَالْمُسْتَقْبَحَاتِ. وَفِيْ هذَا الْحَدِيْثِ تَخْصِيْصُ قَوْلِهِ صَلّى اللهُ عَليْه وَسَلّمَ "فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ" وَأَنَّ الْمُرَادَ بِهِ الْمُحْدَثَاتُ الْبَاطِلَةُ وَالْبِدَعُ الْمَذْمُوْمَةُ.
“Dalam hadits ini terdapat anjuran untuk memulai kebaikan, dan merintis perkara-perkara baru yang baik, serta memperingatkan masyarakat dari perkara-perkara yang batil dan buruk. Dalam hadits ini juga terdapat pengkhususan terhadap hadits Nabi yang lain, yaitu terhadap hadits: “Wa Kullu Bid’ah Dlalalah”. Dan bahwa sesungguhnya bid’ah yang sesat itu adalah perkara-perkara baru yang batil dan perkara-perkara baru yang dicela”.
As-Sindi mengatakan dalam kitab Hasyiyah Ibn Majah:
قَوْلُهُ "سُنَّةً حَسَنَةً" أَيْ طَرِيْقَةً مَرْضِيَّةً يُقْتَدَى بِهَا، وَالتَّمْيِيْزُ بَيْنَ الْحَسَنَةِ وَالسَّـيِّئَةِ بِمُوَافَقَةِ أُصُوْلِ الشَّرْعِ وَعَدَمِهَا.
“Sabda Rasulullah: “Sunnatan Hasanatan…” maksudnya adalah jalan yang diridlai dan diikuti. Cara membedakan antara bid’ah hasanah dan sayyi-ah adalah dengan melihat apakah sesuai dengan dalil-dalil syara’ atau tidak”.
Al-Hafizh Ibn Hajar al-'Asqalani dalam kitab Fath al-Bari menuliskan sebagai berikut:
وَالتَّحْقِيْقُ أَنَّهَا إِنْ كَانَتْ مِمَّا تَنْدَرِجُ تَحْتَ مُسْتَحْسَنٍ فِيْ الشَّرْعِ فَهِيَ حَسَنَةٌ، وَإِنْ كَانَتْ مِمَّا تَنْدَرِجُ تَحْتَ مُسْتَقْبَحٍ فِيْ الشَّرْعِ فَهِيَ مُسْتَقْبَحَةٌ.
“Cara mengetahui bid’ah yang hasanah dan sayyi-ah menurut tahqiq para ulama adalah bahwa jika perkara baru tersebut masuk dan tergolong kepada hal yang baik dalam syara’ berarti termasuk bid’ah hasanah, dan jika tergolong hal yang buruk dalam syara' berarti termasuk bid’ah yang buruk” (Fath al-Bari, j. 4, hlm. 253).
Dengan demikian para ulama sendiri yang telah mengatakan mana hadits yang umum dan mana hadits yang khusus. Jika sebuah hadits bermakna khusus, maka mereka memahami betul hadits-hadits mana yang mengkhususkannya. Benar, para ulama juga yang mengetahui mana hadits yang mengkhususkan dan mana yang dikhususkan. Bukan semacam mereka yang membuat pemahaman sendiri yang sama sekali tidak di dasarkan kepada ilmu.
Dari penjelasan ini juga dapat diketahui bahwa penilaian terhadap sebuah perkara yang baru, apakah ia termasuk bid’ah hasanah atau termasuk sayyi-ah, adalah urusan para ulama. Mereka yang memiliki keahlian untuk menilai sebuah perkara, apakah masuk kategori bid’ah hasanah atau sayyi-ah. Bukan orang-orang awam atau orang yang menganggap dirinya alim padahal kenyataannya ia tidak paham sama sekali.
5. Kalangan yang mengingkari bid’ah hasanah mengatakan: “Bid’ah yang diperbolehkan adalah bid’ah dalam urusan dunia. Dan definisi bid’ah dalam urusan dunia ini sebenarnya bid’ah dalam tinjauan bahasa saja. Sedangkan dalam urusan ibadah, bid’ah dalam bentuk apapun adalah sesuatu yang haram, sesat bahkan mendekati syirik”.
Jawab:
Subhanallah al-'Azhim. Apakah berjama'ah di belakang satu imam dalam shalat Tarawih, membaca kalimat talbiyah dengan menambahkan atas apa yang telah diajarkan Rasulullah seperti yang dilakukan oleh sahabat ‘Umar ibn al-Khaththab, membaca tahmid ketika i'tidal dengan kalimat “Rabbana Wa Laka al-Hamd Handan Katsiran Thayyiban Mubarakan Fih”, membaca doa Qunut, melakukan shalat Dluha yang dianggap oleh sahabat ‘Abdullah ibn ‘Umar sebagai bid’ah hasanah, apakah ini semua bukan dalam masalah ibadah?! Apakah ketika seseorang menuliskan shalawat: “Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam” atas Rasulullah tidak sedang beribadah?! Apakah orang yang membaca al-Qur’an yang ada titik dan harakat i'rab-nya tidak sedang beribadah kepada Allah?! Apakah orang yang membaca al-Qur’an tersebut hanya “bercanda” dan “iseng” saja, bahwa ia tidak akan memperoleh pahala karena membaca al-Qur’an yang ada titik dan harakat i'rab-nya?! Sahabat ‘Abdullah ibn ‘Umar yang nyata-nyata dalam shalat, di dalam tasyahhud-nya menambahkan “Wahdahu La Syarika Lahu”, apakah ia tidak sedang melakukan ibadah?! Hasbunallah.
Kemudian dari mana ada pemilahan bid’ah secara bahasa (Bid’ah Lughawiyyah) dan bid’ah secara syara'?! Bukankah ketika sebuah lafazh diucapkan oleh para ulama, yang notebene sebagai pembawa ajaran syari’at, maka harus dipahami dengan makna syar'i dan dianggap sebagai haqiqah syar'iyyah?! Bukankah ‘Umar ibn al-Khatththab dan ‘Abdullah ibn Umar mengetahui makna bid’ah dalam syara', lalu kenapa kemudian mereka memuji sebagian bid’ah dan mengatakannya sebagai bid’ah hasanah, bukankah itu berarti bahwa kedua orang sahabat Rasulullah yang mulia dan alim ini memahami adanya bid’ah hasanah dalam agama?! Siapa berani mengatakan bahwa kedua sahabat agung ini tidak pernah mendengar hadits Nabi “Kullu Bid’ah Dlalalah”?! Ataukah siapa yang berani mengatakan bahwa dua sahabat agung tidak memahami makna “Kullu” dalam hadits “Kullu Bid’ah Dlalalh” ini?!
Kita katakan kepada mereka yang anti terhadap bid’ah hasanah: “Sesungguhnya sahabat ‘Umar ibn al-Khaththab dan sahabat ‘Abdullah ibn ‘Umar, juga para ulama, telah benar-benar mengetahui adanya kata “Kull” di dalam hadits tersebut. Hanya saja orang-orang yang mulia ini memahami hadits tersebut tidak seperti pemahaman orang-orang Wahhabiyyah yang sempit pemahamannya ini. Para ulama kita tahu bahwa ada beberapa hadits shahih yang jika tidak dikompromikan maka satu dengan lainnya akan saling bertentangan. Oleh karenanya, mereka mengkompromikan hadits “Wa Kullu Bid’ah Dlalalah” dengan hadits “Man Sanna Fi al-Islam Sunnatan Hasanatan…”, bahwa hadits yang pertama ini di-takhshish dengan hadits yang kedua. Sehingga maknanya menjadi: “Setiap bid’ah Sayyi-ah adalah sesat”, bukan “Setiap bid’ah itu sesat”.
Pemahaman ini sesuai dengan hadits lainnya, yaitu sabda Rasulullah:
مَنْ ابْتَدَعَ بِدْعَةً ضَلاَلَةً لاَ تُرْضِي اللهَ وَرَسُوْلَهُ كَانَ عَلَيْهِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ عَمِلَ بِهَا لاَ يَنْقُصُ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَىْءٌ (رواه الترمذيّ وابن ماجه)
“Barangsiapa merintis suatu perkara baru yang sesat yang tidak diridlai oleh Allah dan Rasul-Nya, maka ia terkena dosa orang-orang yang mengamalkannya, tanpa mengurangi dosa-dosa mereka sedikitpun”. (HR. at-Tirmidzi dan Ibn Majah)
Inilah pemahaman yang telah dijelaskan oleh para ulama kita sebagai Waratsah al-Anbiya’.
6. Kalangan yang mengingkari adanya bid’ah hasanah mengatakan: “Perkara-perkara baru tersebut tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah, dan para sahabat tidak pernah melakukannya pula. Seandainya perkara-perkara baru tersebut sebagai sesuatu yang baik niscaya mereka telah mendahului kita dalam melakukannya”.
Jawab:
Baik, Rasulullah tidak melakukannya, apakah beliau melarangnya? Jika mereka berkata: Rasulullah melarang secara umum dengan sabdanya: “Kullu Bid’ah Dlalalah”. Kita jawab: Rasulullah juga telah bersabda: “Man Sanna Fi al-Islam Sunnatan Hasanatan Fa Lahu Ajruha Wa Ajru Man ‘Amila Biha…”.
Bila mereka berkata: Adakah kaedah syara' yang mengatakan bahwa apa yang tidak dilakukan oleh Rasulullah adalah bid’ah yang diharamkan? Kita jawab: Sama sekail tidak ada.
Lalu kita katakan kepada mereka: Apakah suatu perkara itu hanya baru dianggap mubah (boleh) atau sunnah setelah Rasulullah sendiri yang langsung melakukannya?! Apakah kalian mengira bahwa Rasulullah telah melakukan semua perkara mubah?! Jika demikian halnya, kenapa kalian memakai Mushaf (al-Qur’an) yang ada titik dan harakat i'rab-nya?! Padahal jelas hal itu tidak pernah dibuat oleh Rasulullah, atau para sahabatnya! Apakah kalian tidak tahu kaedah Ushuliyyah mengatakan:
التَّرْكُ لاَ يَقْتَضِي التَّحْرِيْم
“Meninggalkan suatu perkara tidak tidak menunjukkan bahwa perkara tersebut sesuatu yang haram”.
Artinya, ketika Rasulullah atau para sahabatnya tidak melakukan suatu perkara tidak berarti kemudian perkara tersebut sebagai sesuatu yang haram.
Sudah maklum, bahwa Rasulullah berasal dari bangsa manusia, tidak mungkin beliau harus melakukan semua hal yang Mubah. Jangankan melakukannya semua perkara mubah, menghitung semua hal-hal yang mubah saja tidak bisa dilakukan oleh seorangpun. Hal ini karena Rasulullah disibukan dalam menghabiskan sebagian besar waktunya untuk berdakwah, mendebat orang-orang musyrik dan ahli kitab, memerangi orang-orang kafir, melakukan perjanjian damai dan kesepakatan gencatan senjata, menerapkan hudud, mempersiapkan dan mengirim pasukan-pasukan perang, mengirim para penarik zakat, menjelaskan hukum-hukum dan lainnya.
Bahkan dengan sengaja Rasulullah kadang meninggalkan beberapa perkara sunnah karena takut dianggap wajib oleh ummatnya. Atau sengaja beliau kadang meninggalkan beberapa perkara sunnah hanya karena khawatir akan memberatkan ummatnya jika beliau terus melakukan perkara sunnah tersebut. Dengan demikian orang yang mengharamkan satu perkara hanya dengan alasan karena perkara tersebut tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah adalah pendapat orang yang tidak mengerti ahwal Rasulullah dan tidak memahami kaedah-kaedah agama.
Kesimpulan
Dari penjelasan yang cukup panjang ini kita dapat mengetahui dengan jelas bahwa para sahabat Rasulullah, para tabi'in, para ulama Salaf dan para ulama Khalaf, mereka semuanya memahami pembagian bid’ah kepada dua bagian; bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi-ah. Yang kita sebutkan dalam tulisan ini bukan hanya pendapat dari satu atau dua orang ulama saja, melainkan sekian banyak ulama dari kalangan Salaf dan Khalaf di atas keyakinan ini. Lembaran buku ini tidak akan cukup bila harus semua nama mereka kita kutip di sini.
Dengan demikian bila ada orang yang menyesatkan pembagian bid’ah kepada dua bagian ini, maka berarti ia telah menyesatkan seluruh ulama dari masa para sahabat Nabi hingga sekarang ini. Dari sini kita bertanya, apakah kemudian hanya dia sendiri yang benar, sementara semua ulama tersebut adalah orang-orang sesat?! Tentu terbalik, dia sendiri yang sesat, dan para ulama tersebut di atas kebenaran. Orang atau kelompok yang “keras kepala” seperti ini hendaklah menyadari bahwa mereka telah menyempal dari para ulama dan mayoritas ummat Islam. Adakah mereka merasa lebih memahami al-Qur’an dan Sunnah dari pada para Sahabat, para Tabi’in, para ulama Salaf, para ulama Hadits, Fikih dan lainnya?! Hasbunallah.
Kamis, 27 Mei 2010
BOLEHKAH ADA KUBURAN DI SAMPING MASJID??
BOLEHKAH ADA KUBURAN DI SAMPING MASJID??
Oleh: Tb.Ahmad Rifqi khan.
Sesungguhnya kejadian adanya kuburan di dalam masjid itu merupakan qodhiyyah fiqhiyyah far’iyyah (kejadian yg bersifat fiqih dan masalah cabang bukan ushul) yang dibesar-besarkan oleh orang bodoh dan pengobar fitnah sehingga menjadi sebab perpecahan di kalangan orang-orang islam dan menyulut pertengkaran sehingga saling mengejek satu sama lain. Celaan dan cercaan kerap kali terdengar: si tukang kuburan (quburiyyun),ahli bid’ah,musyrik dan lain-lain….la haula wala quwwata illa billahil aliyyil adziim.
Oleh karena itu disini akan dihimpun pembahasan-pembahasan yang berserakan tentang masalah ini mudah-mudahan Allah SWT dengan statemen tersebut dapat membukakan mata yang rabun dan telinga yang tuli amiin yarobbal alamiin.
Dalam hal ini ada beberapa hal yang harus dipilah-pilah supaya jangan terjadi pembahasan yang campur baur sehingga mengkaburkan masalah dan kita tidak sampai menyentuh persoalan yang sebenarnya. Oleh karena itu akan dijelaskan dengan sejelas-jelasnya dan akan dipilah dengan proporsional dan akan kami bedakan bahwa:”SHOLAT DI MASJID YANG TERDAPAT KUBURAN DI DALAMNYA ITU BUKAN MENJADIKAN KUBURAN MENJADI MASJID/TEMPAT SUJUD”…..
Dan masalah ini akan dibedakan menjadi tiga hal:
1. Sholat di dalam pekuburan
2. Sholat di masjid yang di sampingnya ada kuburan
3. Menjadikan kuburan menjadi masjid
1. SHOLAT DI DALAM PEKUBURAN
“Al qobru” adalah tempat dimana manusia dikebumikan sedangkan “Al maqbaroh” berarti pekuburan.
Al qobru maupun Al maqbaroh adalah tempat yang dimuliakan berdasarkan syariat dikarenakan memuliakan mayyit yang di dalamnya. Oleh karena itu para fuqoha sepakat bahwa menginjak kuburan itu hukumnya makruh sesuai dengan hadist riwayat At tirmidzi juz 1 halaman 123 dan imam At thobroni di kitab Al Ausath halaman 153
أن النبي صلي الله عليه سلم نهي ان توطأ القبور
Artinya : bahwasannya nabi saw melarang untuk menginjak kuburan .
Namun ulama madzhab Malikiyah mengkhususkan kemakruhan tersebut atas kuburan yang menonjol (tidak rata dengan tanah) sebagaiman para ulama Syafi’iyah dan Hambaliyah mengecualikan (hilangannya kemakruhan) bila menginjak kuburan dikarenakan ada keperluan misalkan bila seseorang tidak bisa mencapai kuburan tertentu kecuali dengan manginjak kuburan yang lain.
Adapun hukum sholat dikuburan maka para ulama madzhab Hanafiyah berpendapat bahwa sholat tersebut dihukumi dengan makruh sesuai dengan pendapat imam Sufyan Atsauri,imam Al Auza’ie dikarenakan pekuburan adalah tempat terduga adanya berbagai najis (madzon An najasah) dan juga menyerupai perbuatan orang yahudi. Maka kemakruhan tersebut akan hilang dan menjadi mubah bila di pekuburan tersebut terdapat tempat yang disediakan untuk sholat sehingga tidak ada najis disana dan bersih dari kotoran.
Para ulama Malikiyah berpendapat dibolehkan untuk melakukan sholat di pekuburan baik pekuburan yang ramai/dipakai maupun yang tidak terpakai (sudah usang) sudah tergali maupun tidak,pekuburan muslim maupun non muslim.
Para ulama madzhab Syafi’iyah memberi perincian (tafshil) sabagai berikut:
1. Tidak sah sholat di pekuburan yang tanahnya tergali dengan tanpa khilaf (sepakat) dikarenakan tanah galian tersebut menjadi mutanajjis bercampur dengan nanah orang-orang yang telah mati. Tidak sah tersebut apabila ia tidak menggelar hamparan di bawahnya,adapun apabila ia menggelar hamparan di bawahnya (tikar dan sebagainya) maka menjadi makruh.
2. Namun bila pekuburan tersebut tidak tahaqquq (nyata,jelas) tidak tergali sehingga aman dari najis maka sholatnya sah dengan tanpa khilaf dikarenakan kesucian tempat yang muttasil dengannya. Namun tetap dihukumi makruh tanzih dikarenakan pekuburan adalah tempat timbunan dari najasah.
3. Bila diragukan apakah kuburan tersebut tergali apa tidak?maka ada dua qoul (pendapat) yang paling shohih adalah sholat tersebut sah disertai makruh karena yang ashal adalah kesucian tanah tersebut sehingga tidak bisa dihukumi najis yang disebabkan keraguan. Sedangkan qoul yang menjadi muqobilnya adalah sholat tersebut tidak sah dikarenakan sesuai dengan kaidah: yang ashal adalah ketetapan kefardluan atas dzimmahnya sedangkan dia ragu-ragu dalam pengguguran kefardluan sholat itu padahal kefardluan tidak bisa menjadi gugur disebabkan keraguan.
Para ulama madzhab Hanbaliyah sholat di pekuburan itu hukumnya tidak sah baik pekuburan yang sudah lama maupun yang masih baru,sering digali maupun tidak.
Namun demikian tidak boleh dilarang melakukan sholat di tempat yang terdapat satu sampai dua buah kuburan dikarenakan tidak dinamakan pekuburan karena yang dimaksud Al maqbaroh adalah nama bagi pekuburan yang mencakup tiga buah kuburan atau lebih. Mereka (Hanabilah) meriwayatkan bahwa segala sesuatu yang termasuk dalam kategori Al maqbaroh maka sekalilingnya tidak bisa dipakai untuk tempat sholat. Mereka menyatakan bahwa: BOLEH MELAKUKAN SHOLAT dirumah atau bangunan yang dikubur dirumah tersebut tiga buah kuburan atau lebih sebab yang demikian TIDAK BISA DINAMAKAN AL MAQBAROH (PEKUBURAN).
Inilah pernyataan para fuqoha (ulama ahli fiqih) tentang masalah SHOLAT DI PEKUBURAN. Mereka tidak menyinggung-nyinggung masalah sholat DI MASJID YANG ADA KUBURAN DI SAMPINGNYA.
2. SHOLAT DI MASJID YANG ADA KUBURAN DI DALAMNYA
Adapun melakukan sholat di masjid yang di dalamnya terdapat seorang nabi AS atau orang-orang yang saleh maka sholat tersebut dipandang shah dan legal menurut syari’at bahkan terkadang mencapai derajat kesunnahan. Hal ini berkenaan dengan berbagai dalil dari Al qur’an,As sunnah,perbuatan para sohabat dan IJMA’ FI’LI dari kalangan umat islam.
SUMBER DARI AL QUR’AN
Dalil yang diambil dari Al qur’an tersebut terdapat dalam firman Allah SWT surat Al kahfi ayat 21:
فقالوا ابنواعليهم بنيانا,ربهم اعلم بهم,قال الذين غلبوا علي أمرهم لنتخذن عليهم مسجدا
Artinya: maka mareka berkata segolongan diantara penduduk kota “Dirikanlah bangunan dimuka pintu gua”. Tuhan mereka lebih mengetahui tentang mereka berkatalah orang yang dapat mengalahkan golongan pertama “Demi Allah kami akan menjadikan di atas tempat mereka sebuah masjid (untuk mendapatkan berkah mereka)”.(Terjemah Al qur’an Al bayan oleh prof.TM Hasby As shiddiqi).
Wajah istidlal dari ayat ini adalah bahwa ayat tersebut memberi isyarat tentang kisah Ashabul kahfi ketika orang-orang menemukan gua pembaringan mereka sehingga orang-orang ada yang mengatakan kita buat bangunan ada juga yang mengatakan sungguh akan kami jadikan tempat ini sebagai masjid untuk mengenang dan mencari keberkahan dari mereka.
Siyaq (konotasi) dari ayat tersebut menunjukkan bahwa ucapan yang pertama adalah ucapan orang-orang musyrikin sedangkan ucapan yang kedua adalah ucapan orang-orang yang bertauhid (muwahhidin). Namun ayat tadi mencampakkan kedua perkataan dengan tanpa pengingkaran. kalau saja ada hal yang bathil maka tentu yang pantas dan sesuai adalah ayat tersebut memberi tanda atau isyarat dengan sebuah qorinah. Adapun penetapan kedua macam ucapan dari kedua ayat tersebut itu menunjukkkan bahwa adanya keberlangsungan syari’at bagi kedua glongan tersebut,yakni sayri’at musyrikin dan sayri’at muwahhidin. Namun kita perhatikan bahwa statemen ayat menyebutkan ucapan- ucapan muwahhidin dengan sebuah siyaq (konotasi bahasa) yang memberikan faidah pujian dengan indikasi diperbandingkannya dengan ucapan orang-orang musyrik yang berkonotasi keraguan,sedangkan ucapan Al muwahhidin berkonotasi kepastian (menggunakan la ibtida’ dan nun taukid: لنتخذن) sebagai pancaran dari pandangan keimanan,yakni mereka bukan sekedar hanya mau mendirikan bangunan namun mereka akan mendirikan masjid tempat beribadah dan menyembah Allah SWT. Ucapan semacam ini bahwa mereka adalah kaum atau kelompok yang mengenal Allah SWT dan mengetahui cara beribadah dan melakukan sholat.
Imam Al Razi dalam tafsirnya mengatakan: لنتخذن عليهم مسجدا…..Artinya kami menyembah Allah dan beribadah kepadanya dan kami membangun masjid ini untuk mengenang petilasan Ashabul kahfi.(tafsir Al Razi juz 11 halaman 106 daar el-fikr).
Al imam As Syaukani berkata: dalam ayat tersebut memberi isyarat bahwa penyebutan “mereka menjadikan masjid” menunjukkan ucapan atau perkataan orang-orang muslim dari glongan yang dapat mengalahkan golongan pertama. Ada pula yang mengatakan mereka itu adalah kerabat penguasa dan para pejabat dikarenakan mereka mengalahkan pendapat dari selain mereka. Namun pendapat yang pertama itulah yang lebih tepat (tafsir fath Al qodir juz 2 halaman 277).
SUMBER DARI AS SUNNAH
Sumber dari As sunnah yaitu hadits Abu busheir r.a yang di riwayatkan oleh Al hafidz Abdurrozaq:”bahwa Abu busheir membelot dari tangan orang-orang musyrik setelah Suluh Al hudaybiah,kemudian dia berangkat menuju Saif Al bahr dan Abu jandal ibn Suheil menyusulnya kemudian sehingga orang-orang berbondong-bondong menyusul mereka berdua sampai berjumlah 300 orang. Abu busheir lah yang mengimami sholat mereka beliau pernah mengatakan :
الله العلي الأكبر # من ينصر الله ينصر
Allah adalah dzat yang maha luhur dan maha agung # barang siapa membela Allah maka ia akan ditolong
Maka ketika Abu jandal menyusul Abu busheir,Abu jandal lah yang mengimami kaum tersebut
Diceritakan apabila rombongan kafir quraisy melintasi meraka pastilah mereka menyandra dan membunuh mereka. Pada akhirnya kafir quraisy mengutus delegasi ke nabi SAW memohon perdamaian dan hubungan persahabatan mereka menyatakan siapapun dari kaum Abi busheir yang tunduk kepada nabi SAW (berkaitan dengan perdamaian Al hudaibiyah) maka dia aman dan dilindungi. Kemudian nabi SAW manulis sepucuk surat untuk Abi jandal dan Abi busheir supaya mendatangi beliau beserta orang-orang islam anak buah mereka berdua. Ketika surat nabi SAW sampai kepada Abi jandal Abu busheir pun meninggal dunia dalam keadaan membaca dan surat dari nabi SAW itu berada di genggangaman tangannya MAKA KEMUDIAN ABU JANDAL MENGUBURKANNYA DAN MEMBANGUN MASJID DIATAS KUBURANNYA. (Riwayat Ibnu Abdil bar di kitab Al isti’ab juz 4 halaman 1614,Ar roudhul Al unf juz 4 halaman 59,Ibnu Sa’ad di kitab At thobaqot Al kubro juz 4 halaman 134,As siroh Al halabiyah juz 2 halaman 270,Musa ibn Uqbah di kitab Al maghozi,Ibnu Ishaq di kitab As siroh).(Imam Malik ibn Anas mengatakan hendaklah kalian berpegangan kepada kitab Al maghozi seorang laki-laki yang saleh yaitu Musa ibn Uqbah karena kitab tersebut adalah kitab yang paling shohih diantara kitab Maghozi yang lainnya,Yahya ibn Ma’in berkata kitab Musa ibn Uqbah adalah kitab yang paling shohih).
Adapun perbuatan para shohabat r.a sangat jelas kita dapati ketika mereka bersikap atas kejadian penguburan rasulillah SAW dan perbedaan pendapat mereka,yakni apa yang diriwayatkan imam Malik ibn Anas r.a beliau berkata: “orang-orang berkata sebaiknya nabi di kubur di samping MIMBAR,sedangkan yang lain berkata di kubur di BAQI saja,tiba-tiba Sayyidina Abu bakar As shiddiq datang dan seraya berkata: aku mendengar nabi SAW bersabda tidak di kubur seorang nabi melainkan ditempat dimana ia meninggal……pada akihrnya nabi pun di kebumikan di tempat itu (kamar aisyah r.ha)”.(kitab Al muwattho’ juz 1 haaman 231).
Wajah istidlal dari hadits di atas adalah:
1.Para shohabat Nabi SAW mengusulkan bahwa hendaknya Nabi SAW di kebumikan di samping mimbar dimana mimbar tersebut bagian dari dalam masjid nabawi,dan usulan ini tidak diingkari oleh seorang shohabat pun.
2. Sayyidina Abu bakar r.a tidak menyetujui usulan ini BUKAN KARENA KEHARAMAN MENGUBUR NABI SAW DI DALAM MASJID,namun karena beliau menyesuaikan sendiri dengan perintah Nabi SAW untuk di kebumikannya ditempat dimana beliau meninggal.
Kalau kita pikirkan tentang pemakaman Nabi SAW di tempat itu di mana tempat tersebut bersambung langsung dan berhubungan langsung dengan masjid yang digunakan untuk sholat begitu pula tidak jauh dengan kejadian mendirikan masjid disamping ruangan yang terdapat kuburan orang-orang solih atau para aulia di zaman kita sekarang ini,yang berarti kuburan tersebut nyambung dengan masjid sedangkan orang-orang melakukan sholat di pelataran/ruangan di luar ruangan makam tersebut.
Memang ada yang menentang pendapat ini,si penentang tersebut mengatakan bahwa: “hal ini khusus bagi Nabi SAW”. Padahal itu tidak benar sebab khususiah bagi nabi SAW membutuhkan dalil yang menyatakan khususiah,maka hukum pun berlaku sesuai dengan asalnya yakni hukum sesuai dengan asal yang menyeluruh bagi siapapun selagi tidak ada dalil yang menyatakan khushushiah. Sehingga jelaslah bahwa pendapat yang menyatakan hal tersebut adalah khususiah bagi Nabi SAW itu pendapat yang BATHIL…!. Apalagi di samping nabi dikubur juga dua orang sahabatnya yang terkemuka yaitu Sayyidina Abu bakar r.a dan Sayyidina Umar ibn Khottob r.a. Apakah itu khushushiah juga??sedangkan kita pun tahu bahwa siti Aisyah r.ha selalu melakukan sholat baik sholat fardhu maupun sholat sunnah di kamar tersebut…..bukan kah ini perbuatan shohabat yang disepakati/diijma’ atas kebolehannya….???
SUMBER DARI IJMA’ FI’LY (KONSENSUS)
Hal ini adalah termasuk perkara yang telah disepakati akan keboehan melakukan sholat baik oleh kalangan salaf maupun kholaf bahwa kaum muslimin melakukan sholat di masjid Nabi SAW maupun di masjid-masjid yang terdapat kuburan-kuburan para sholihin dengan TANPA DIINGKARI. Begitu juga iqror para ulama yang tujuh orang di madinah yang telah sepakat untuk memasukkan Al hujroh As syarifah (kamar yang mulia) kedalam masjid nabawi,dimana di dalamnya terdapat tiga buah kuburan. Para fuqoha As sab’ah (tujuh ahli fiqih kalangan tabi’in) tidak ada yang menentang hal ini kecuali IMAM SA’ID IBNUL MUSAYYIB. Beliau menentang bukannya memadang keharaman melakukan sholat di masjid itu dikarenakan ada kuburan akan tetapi dikarenakan beliau berkeinginan agar supaya kamar yang mulia itu tetap utuh dan bisa dilihat oleh orang-orang islam sehingga orang-orang islam dapat mengetahui bagaimana perihidup baginda Nabi SAW agar mereka dapat melakukan kezuhudan dari dunia.
3. MENJADIKAN KUBURAN MENJADI MASJID (TEMPAT BERSUJUD) BUKAN BERARTI MASJID YANG TERDAPAT KUBURAN DISAMPINGNYA
Adapun menjadikan kuburan sebagai masjid yang laranganya terdapat dalam hadits Nabi SAW riwayat imam bukhori muslim (muttafaq alaih) juz 1 halaman 446,shohih muslim juz 1 halaman 376
قال رسول الله صلي الله عليه وسلّم : لعن الله اليهود والنصارى اتخذواقبورأنبيائهم مساجد.....
Imam muslim menambahkan وصالحيهم
Artinya: Allah melaknat orang-orang yahudi dan nasrani karena mereka menjadikan kuburan-kuburan Nabi mereka sebagai tempat sujud,imam muslim menambahkan dan orang-orang sholih mereka.
Para ulama ummat islam ini tidak mengartikan dan memahami bahwa hadits tersebut adalah sebuah larangan untuk membangun masjid yang bersambung atau menempel dengan kuburan Nabi atau orang sholih,para ulama mengartikan menjadikan kuburan menjadi masjid DENGAN PEMAHAMAN YANG BENAR yaitu dengan menjadikan kuburan itu sendiri sebagai tempat sujud sehingga bersujud menghadap kuburan itu dijadikan ibadah seperti yang dilakukan orang Yahudi dan Nasrani seperti apa yang dikatakan Allah SWT dalam Al qur’an surat At taubah ayat 31:
اتخذوا أحبارهم ورهبانهم أربابا من دون الله والمسيح ابن مريم وما أمروا الا ليعبدوا الها واحدا لا اله الا هو سبحانه عما يشركون
Artinya: Mereka menjadikan pendeta-pendeta dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah juga Al masih putra maryam,padahal mereka tidak diperintahkan kecuali untuk menyembah tuhan yang satu tidak ada tuhan selain DIA maha suci DIA dari apa yang mereka sekutukan (QS.At taubah ayat 31).
Inilah makna dari sujud yang dilaknat dari Allah SWT atau menjadikan kuburan sebagai kiblat bukan kiblat yang sesungguhnya yang telah disyari’atkan sebagaimana yang dilakukan oleh kafir ahli kitab ketika mereka melakukan sholat dengan menghadap kuburan-kuburan pendeta-pendeta dan rahib-rahib mereka. Itulah pemahaman para ulama dari larangan tersebut.
Maka hendaknya bagi kaum muslimin supaya mengetahui bentuk larangan dari hadits tersebut,objek larangannya terletak yang bagaimana?bukan lantas memandang perbuatan orang-orang islam di masjid-masjid mereka kemudian dikatakanlah bahwa hadits di atas adalah ditujukan untuk orang-orang islam dimana perbuatan yang semacam ini adalah perbuatan kaum KHOWARIJ……naudzu billahi min dzalik……sebagimana yang dikatakan oleh sohabat ibnu umar r.a bahwa kaum KHOWARIJ menggunakan ayat yang diturunkan untuk orang-orang musyrik kemudian menjadikan ayat tersebut ditujukan untuk orang-orang islam.
Padahal kita tahu dimanapun tidak ada gereja orang Kristiani maupun sinagog orang Yahudi dalam bentuk masjid milik kaum muslimin dimana masjid tersebut bersambung dengan kuburan Nabi atau orang-orang sholih sampai zaman sekarang ini.
Para ulama memahami murod hasits diatas dengan pandangan yang tajam sesuai dengan apa yang terlihat jelas dari komentar-komentar mereka disyarah-syarah kitab hadits diantaranya adalah
1. As Syeikh As Sindi berkata: Maksud hadits ini adalah Nabi SAW memberi peringatan kepada ummatnya agar jangan sampai menjadikan kuburannya seperti apa yang diperbuat oleh orang Yahudi dan Nasrani yang mereka menjadikan kuburan-kuburan Nabi mereka sebagai tempat sujud,adakalanya bersujud menghadap kuburan itu dengan ta’dzim atau menjadikan kuburan itu sebagai kiblat dalam sholat mereka. Lain halnya sekedar membangun masjid disamping kuburan orang sholih karena tabarruk (mencari keberkahan) maka hal ini tidak dilarang.
2. Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqolany dan para ulama lain yang mensyarahi kitab SUNAN menukil perkatan Al qodhi Al baidhowi beliau mengatakan: ketika orang Yahudi bersujud kepada kuburan para Nabi karena ta’dzim atas keluhuran mereka dan menjadikan kuburan mereka sebagai kiblat sehingga mereka menghadap para Nabi mereka di dalam shalat pada akhirnya mereka menjadikan kuburan-kuburan itu menjadikan berhala sesembahan maka Allah SWT MELAKNAT MEREKA DAN ORANG-ORANG ISLAM PUN DILARANG UNTUK MELAKUKAN YANG SEMACAM INI.
Adapun orang menjadikan masjid atau membangunnya disamping kuburan orang sholih atau melakukan sholat di samping pekuburannya dengan tujuan istidzhar dengan ruhnya dan tersampaikan efek ibadah orang tersebut bukan dengan tujuan ta’dzim atau menghadap kuburan tersebut (di dalam sholatnya) maka tidak mengapa dan tidak berdosa,bukan kah Nabi Ismail As dikuburkan di masjidil harom di tempat yang bernama AL HATHIM kemudian kita tahu bahwa masjid tersebut adalah tempat yang paling afdhol untuk melakukan sholat dan beribadah kepada Allah SWT dan berdo’a di tempat itu. Adapun larangan sholat dikuburan itu khusus untuk kuburan yang telah tergali tanahnya dikarenakan bahwa pekuburan itu terdapat banyak najis.(FATHUL BARI syarah SHOHIH AL BUKHORI juz 1 halaman 524,sayrah AL ZARQONI juz 4 halaman 290,FAIDHUL QODIR juz 4 halaman 466)
3. Al Mubarok Fury berkata: At Turbasyty berkata: Hadits tersebut dapat diartikan dengan dua wajah:
• Mereka bersujud kepada kuburan Nabi mereka karena ta’dzim dan beribadah
• Mereka bersengaja untuk melakukan sholat di kuburan para Nabi dengan menghadapkan diri mereka ke kuburan tersebut ketika sholat padahal ibadah (menyembah) hanya kepada Allah SWT,mereka berfikirkan bahwa perbuatan tersebut itu lebih diakui oleh Allah SWT.(TUHFATUL AHWADZI SYARAH SUNAN AT TIRMIDZI juz 2 halaman 226)
Dari statemen-statemen di atas dapat kita simpulkan bahwa melakukan sholat di masjid yang terdapat kuburan di sampingnya itu sah dan tidak makruh apalagi haram. Adapun bila kuburan itu berada di masjid maka tidak sah menurut madzhab imam Ahmad ibn Hanbal namun sah menurut tiga madzhab yang lainnya dan boleh dilakukan.
Puncak dari permasalahan ini adalah mereka(para ulama) semua berkata: makruh melakukan sholat dengan kuburan di depan tempat sholat mereka dikarenakan menyerupai sholat kepada mereka, seperti yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi.
Refrensi Al bayan Al qowim halaman 69 sampai 77
Prof.DR.Al imam Ali jum’ah.
WALLAHU A’LAM BISSHOWAAB……..
Jumat, 21 Mei 2010
DISKUSI ANTARA IMAM ABUL MA'ALY AL JUWAINI DAN IMAM ABI ISHAQ ASSYIROZY
المناظرة الأولى:
هي بين شيخي الشافعية في عصرهما (أبو المعالي الجويني صحاب النهاية وأبو إسحاق الشيرازي صاحب المهذب):
سئل الشيخ الإمام أبو المعالي الجويني عمن اجتهد في القبلة وصلى ثم تيقن الخطأ .
فاستدل فيها بأنه تعين له يقين الخطأ في شرط من شروط الصلاة فلزمه الإعادة كما لو تيقن الخطأ في الوقت .
اعترض عليه الشيخ الإمام أبو إسحاق الشيرازي بأن قال:
لا يجوز اعتبار القبلة بالوقت فإن أمر القبلة أخف من أمر الوقت والدليل عليه شيآن:
أحدهما: أن القبلة يجوز تركها في النافلة في السفر والوقت لا يجوز تركه في النوافل المؤقتة كصلاة العيد وسنة الفجر في السفر وإن استويا في كونهما شرطين
والثاني: أن القبلة يجوز تركها في الفرض في شدة الحرب والوقت لا يجوز تركه في شدة الحرب في الفرض
فقال الشيخ أبو المعالي: لا خلاف بين أهل النظر أنه ليس من شرط القياس أن يشابه الفرع الأصل من جميع الوجوه وإنما شرطه أن يساويه في علة الحكم فإذا استويا في علة الحكم لم يضر افتراقهما فيما سواها فإنه لو اعتبر تساويهما في كل شيء لم يصح القياس لأنه ما من شيء يشبه شيئا في أمر إلا ويخالفه في أمر.
ثم كون أحدهما أخف والآخر آكد لا يمنع الاعتبار
ألا ترى أنا نقيس الفرض على النفل والنفل على الفرض وإن كان أحدهما أخف والآخر آكد
ونقيس العبادات بعضها على بعض مع افتراقها في القوة والضعف ونقيس الحقوق بعضها على بعض وإن كان بعضها أخف وبعضها آكد .
فكذلك هنا يجوز أن أعتبر القبلة بالوقت وإن كان أحدهما آكد والآخر أخف .
وجواب آخر: أنه كما يجوز ترك القبلة مع العلم في النافلة في السفر والحرب فالوقت أيضا يجوز تركه في الجمع بين الصلاتين في السفر ولا فارق بينه وبين القبلة .
بل القبلة آكد من الوقت ألا ترى أنه لو دخل في صلاة الفرض قبل دخول الوقت مع العلم انقلبت صلاته نفلا ولو دخل في الفرض إلى غير القبلة لم تنعقد نفلا فدل على أن القبلة آكد من الوقت .
فقال له الشيخ أبو إسحاق: أما قولك إنه ليس من شرط القياس أن يساوي الفرع الأصل من كل وجه بل يكفي أن يساويه في علة الحكم ولا يضر افتراقهما فيما سواه يعارضه أن من شرط القياس أن يرد الفرع إلى نظيره وهذا الأصل ليس بنظير للفرع بدليل ما ذكرت فلم يصح القياس .
ولأن افتراقهما فيما ذكرت من جواز ترك القبلة في النافلة في السفر وشدة الحرب وأن ذلك لا يجوز في الوقت دليل على أنهما لا يستويان في العلة لأنهما لو استويا في العلة لاستويا في النظير وإذ لم يستويا في العلة لم يصح القياس .
وقولك لم إذا كان أحدهما أخف والآخر آكد لم يجز قياس أحدهما على الآخر لأنه إذا كان أحدهما آكد والآخر أخف دل على أن أحدهما ليس بنظير للآخر ولا يجوز قياس الشيء على غير نظيره وقولك إنا نقيس النفل على الفرض وأحدهما آكد ونقيس العبادات بعضها على بعض والحقوق بعضها على بعض مع اختلافها غير صحيح لأنه إذا اتفق فيها مثل ما اتفق هاهنا فأنا أمنع من القياس
وإنما نجيز القياس في الجملة فإذا بلغ الأمر إلى التفصيل وقيس الشيء على غير نظيره لم أجوز ذلك
وهذا كما نقول إن القياس في الجملة جائز ثم إذا اتفق منه ما خالف النص لم يجز
ولا نقول إن القياس في الجملة جائز فوجب أن يجوز ما اتفق منه مخالفا للنص
وقولك إنه يكفي أن يستويا في علة الحكم ولا يضر افتراقهما بعد ذلك لا يصح لأنه لا يكفي أن يستويا في علة الحكم غير أني لا أسلم أنهما استويا في علة الحكم لأن افتراقهما فيما ذكرت يدل على أنهما لم يستويا في علة الحكم
وقولك إنه ليس من شرط القياس أن يستوي الأصل والفرع في جميع الأحكام لأنه لو شرط ذلك انسد باب القياس يعارضه أنه ليس من شرط الفرق أن يفارق الفرع الأصل في جميع الأشياء لأنه لو شرط ذلك انسد باب الفرق والفرق مانع كما أن القياس جامع
وأما قولك إنه كما يجوز ترك القبلة في النافلة في السفر وشدة الحرب فكذلك يجوز ترك الوقت في الجمع بين الصلاتين لا يصح لأن ترك الوقت في الجمع ليس على سبيل التخفيف لموضع العذر وإنما هو من سنن النسك فلا يدل ذلك على التخفيف
كما لا يدل الاقتصار في الصبح على الركعتين على أنها أضعف من الظهر والعصر
وليس كذلك ما ذكرناه من ترك القبلة في النافلة في السفر والفريضة في الحرب لأن ذلك أجيز لتخفيف أمر القبلة في العذر فهو كالقصر في الظهر والعصر في السفر
وأما قولك إنه إذا دخل في الفرض قبل الوقت انعقد نفلا ولو دخل فيه وهو غير مستقبل القبلة لم تنعقد له الصلاة نفلا فإن ما قبل الوقت وقت للنفل وغير القبلة ليس بموضع للنفل من غير عذر .
فقال الشيخ أبو المعالي: أما قولك إني لا أسلم أن هذا علة الأصل فهذا من أهم الأسولة وأجودها
ولكن كان من سبيلك أن تطالبني به وتصرح به ولا تكنى عنه فلا أقبله بعد ذلك
وأما قولك إنه إن كان ما ذكرت يسد باب القياس لأنه ما من فرع يشابه أصلا في شيء إلا ويفارقه في أشياء فما ذكرت أيضا يمنع الفرق لأنه ما من فرع يفارق أصلا في شيء إلا ويساويه في أشياء فصحيح إلا أنك إذا أردت الفرق فيجب أن تبين الفرق وتدل عليه وترده إلى أصل ولم تفعل ذلك وإن تركتَ ما ذكرتُ واستأنف فرقاً تكلمتُ عليه.
وأما قولك إن هذا نظير لأنه ترك القبلة في النافلة في السفر وفي الفرض في الحرب فغير صحيح لأن فيما ذكرت تُترك القبلةُ لعذر من جهة العجز فجاز أن يسقط الفرض معه وها هنا تُركَ للاشتباه وليس الترك للعجز كالترك للاشتباه
ألا ترى أن المستحاضة ومن به سلس البول يصليان مع قيام الحدث ولو ظن أنه متطهر وصلى لم يسقط الفرض
وأما قولك إن ترك الوقت في الجمع لحق النسك على وجه العبادة فلا يصح لأنه لو كان لهذا المعنى لوجب إذا أخر العصر إلى وقتها ألا يصح لأنه فعل العبادة على غير وجهها فدل على أنه على وجه التخفيف لحق العذر .
وجواب آخر: من حيث الفقه أنا فرقنا بين الوقت والقبلة لأن الحاجة تدعو إلى ترك القبلة في النافلة لعذر السفر لأنا لو قلنا إنه لا يجوز ترك القبلة أدى إلى تحمل المشقة إن صلاها أو تركها ولا مشقة في ترك الوقت لأن السنن الراتبة مع الفرائض تابعة للفرائض فيصليها في أوقاتها وكذلك في شدة الحرب الحاجة داعية إلى ترك القبلة فإنا لو ألزمناهم استقبال القبلة أدى إلى هزيمتهم أو قتلهم ولا حاجة بهم إلى ترك الوقت فإنه يصليها في وقتها وهو يقاتل .
فقلت له (أي الشيخ أبو إسحاق): أما قولك إنه كان يجب أن تطالبني بتصحيح العلة وتصرح ولا تكني فلا يصح لأني بالخيار بين أن أطالبك بتصحيح العلة وبين أن أذكر ما يدل على فسادها كما أن القائس بالخيار بين أن يذكر علة المسألة وبين أن يذكر ما يدل على العلة والجميع جائز فكذلك ها هنا
وأما قولك إن الجمع لو كان للعبادة لما جاز التأخير لا يصح لأنه لا يجوز التأخير لأنه يفعلها في وقتها وتقديمها أفضل لأنه وقت لها على سبيل القربة والفضيلة
وأما قولك إن ترك القبلة في النافلة والحرب للعجز أو المشقة فلا يصح لأنه كان يجب لهذا العجز أن يترك الوقت فتؤخر الصلاة في شدة الخوف ليؤديها على حال الكمال ويتوفر على القتال ولما لم يجز ترك الوقت وجاز ترك القبلة دل على أن فرض القبلة أخف من فرض الوقت فجاز أن يكون الاشتباه عذرا في سقوط فرض القبلة ولا يكون عذرا في ترك الوقت وهذا آخرها.
قال ابن الصلاح نقلتها من خط الشيخ أبي علي بن عمار وقال نقلتها من خط رجل من أصحاب الشيخ أبي إسحاق وذكر في آخر الخط أنه كتبها من خط الشيخ الإمام أبي إسحاق وقوله فيها فقلت له هذا حكاية قول الشيخ أبي إسحاق وهو دليل أنها نقلت من خطه.
هي بين شيخي الشافعية في عصرهما (أبو المعالي الجويني صحاب النهاية وأبو إسحاق الشيرازي صاحب المهذب):
سئل الشيخ الإمام أبو المعالي الجويني عمن اجتهد في القبلة وصلى ثم تيقن الخطأ .
فاستدل فيها بأنه تعين له يقين الخطأ في شرط من شروط الصلاة فلزمه الإعادة كما لو تيقن الخطأ في الوقت .
اعترض عليه الشيخ الإمام أبو إسحاق الشيرازي بأن قال:
لا يجوز اعتبار القبلة بالوقت فإن أمر القبلة أخف من أمر الوقت والدليل عليه شيآن:
أحدهما: أن القبلة يجوز تركها في النافلة في السفر والوقت لا يجوز تركه في النوافل المؤقتة كصلاة العيد وسنة الفجر في السفر وإن استويا في كونهما شرطين
والثاني: أن القبلة يجوز تركها في الفرض في شدة الحرب والوقت لا يجوز تركه في شدة الحرب في الفرض
فقال الشيخ أبو المعالي: لا خلاف بين أهل النظر أنه ليس من شرط القياس أن يشابه الفرع الأصل من جميع الوجوه وإنما شرطه أن يساويه في علة الحكم فإذا استويا في علة الحكم لم يضر افتراقهما فيما سواها فإنه لو اعتبر تساويهما في كل شيء لم يصح القياس لأنه ما من شيء يشبه شيئا في أمر إلا ويخالفه في أمر.
ثم كون أحدهما أخف والآخر آكد لا يمنع الاعتبار
ألا ترى أنا نقيس الفرض على النفل والنفل على الفرض وإن كان أحدهما أخف والآخر آكد
ونقيس العبادات بعضها على بعض مع افتراقها في القوة والضعف ونقيس الحقوق بعضها على بعض وإن كان بعضها أخف وبعضها آكد .
فكذلك هنا يجوز أن أعتبر القبلة بالوقت وإن كان أحدهما آكد والآخر أخف .
وجواب آخر: أنه كما يجوز ترك القبلة مع العلم في النافلة في السفر والحرب فالوقت أيضا يجوز تركه في الجمع بين الصلاتين في السفر ولا فارق بينه وبين القبلة .
بل القبلة آكد من الوقت ألا ترى أنه لو دخل في صلاة الفرض قبل دخول الوقت مع العلم انقلبت صلاته نفلا ولو دخل في الفرض إلى غير القبلة لم تنعقد نفلا فدل على أن القبلة آكد من الوقت .
فقال له الشيخ أبو إسحاق: أما قولك إنه ليس من شرط القياس أن يساوي الفرع الأصل من كل وجه بل يكفي أن يساويه في علة الحكم ولا يضر افتراقهما فيما سواه يعارضه أن من شرط القياس أن يرد الفرع إلى نظيره وهذا الأصل ليس بنظير للفرع بدليل ما ذكرت فلم يصح القياس .
ولأن افتراقهما فيما ذكرت من جواز ترك القبلة في النافلة في السفر وشدة الحرب وأن ذلك لا يجوز في الوقت دليل على أنهما لا يستويان في العلة لأنهما لو استويا في العلة لاستويا في النظير وإذ لم يستويا في العلة لم يصح القياس .
وقولك لم إذا كان أحدهما أخف والآخر آكد لم يجز قياس أحدهما على الآخر لأنه إذا كان أحدهما آكد والآخر أخف دل على أن أحدهما ليس بنظير للآخر ولا يجوز قياس الشيء على غير نظيره وقولك إنا نقيس النفل على الفرض وأحدهما آكد ونقيس العبادات بعضها على بعض والحقوق بعضها على بعض مع اختلافها غير صحيح لأنه إذا اتفق فيها مثل ما اتفق هاهنا فأنا أمنع من القياس
وإنما نجيز القياس في الجملة فإذا بلغ الأمر إلى التفصيل وقيس الشيء على غير نظيره لم أجوز ذلك
وهذا كما نقول إن القياس في الجملة جائز ثم إذا اتفق منه ما خالف النص لم يجز
ولا نقول إن القياس في الجملة جائز فوجب أن يجوز ما اتفق منه مخالفا للنص
وقولك إنه يكفي أن يستويا في علة الحكم ولا يضر افتراقهما بعد ذلك لا يصح لأنه لا يكفي أن يستويا في علة الحكم غير أني لا أسلم أنهما استويا في علة الحكم لأن افتراقهما فيما ذكرت يدل على أنهما لم يستويا في علة الحكم
وقولك إنه ليس من شرط القياس أن يستوي الأصل والفرع في جميع الأحكام لأنه لو شرط ذلك انسد باب القياس يعارضه أنه ليس من شرط الفرق أن يفارق الفرع الأصل في جميع الأشياء لأنه لو شرط ذلك انسد باب الفرق والفرق مانع كما أن القياس جامع
وأما قولك إنه كما يجوز ترك القبلة في النافلة في السفر وشدة الحرب فكذلك يجوز ترك الوقت في الجمع بين الصلاتين لا يصح لأن ترك الوقت في الجمع ليس على سبيل التخفيف لموضع العذر وإنما هو من سنن النسك فلا يدل ذلك على التخفيف
كما لا يدل الاقتصار في الصبح على الركعتين على أنها أضعف من الظهر والعصر
وليس كذلك ما ذكرناه من ترك القبلة في النافلة في السفر والفريضة في الحرب لأن ذلك أجيز لتخفيف أمر القبلة في العذر فهو كالقصر في الظهر والعصر في السفر
وأما قولك إنه إذا دخل في الفرض قبل الوقت انعقد نفلا ولو دخل فيه وهو غير مستقبل القبلة لم تنعقد له الصلاة نفلا فإن ما قبل الوقت وقت للنفل وغير القبلة ليس بموضع للنفل من غير عذر .
فقال الشيخ أبو المعالي: أما قولك إني لا أسلم أن هذا علة الأصل فهذا من أهم الأسولة وأجودها
ولكن كان من سبيلك أن تطالبني به وتصرح به ولا تكنى عنه فلا أقبله بعد ذلك
وأما قولك إنه إن كان ما ذكرت يسد باب القياس لأنه ما من فرع يشابه أصلا في شيء إلا ويفارقه في أشياء فما ذكرت أيضا يمنع الفرق لأنه ما من فرع يفارق أصلا في شيء إلا ويساويه في أشياء فصحيح إلا أنك إذا أردت الفرق فيجب أن تبين الفرق وتدل عليه وترده إلى أصل ولم تفعل ذلك وإن تركتَ ما ذكرتُ واستأنف فرقاً تكلمتُ عليه.
وأما قولك إن هذا نظير لأنه ترك القبلة في النافلة في السفر وفي الفرض في الحرب فغير صحيح لأن فيما ذكرت تُترك القبلةُ لعذر من جهة العجز فجاز أن يسقط الفرض معه وها هنا تُركَ للاشتباه وليس الترك للعجز كالترك للاشتباه
ألا ترى أن المستحاضة ومن به سلس البول يصليان مع قيام الحدث ولو ظن أنه متطهر وصلى لم يسقط الفرض
وأما قولك إن ترك الوقت في الجمع لحق النسك على وجه العبادة فلا يصح لأنه لو كان لهذا المعنى لوجب إذا أخر العصر إلى وقتها ألا يصح لأنه فعل العبادة على غير وجهها فدل على أنه على وجه التخفيف لحق العذر .
وجواب آخر: من حيث الفقه أنا فرقنا بين الوقت والقبلة لأن الحاجة تدعو إلى ترك القبلة في النافلة لعذر السفر لأنا لو قلنا إنه لا يجوز ترك القبلة أدى إلى تحمل المشقة إن صلاها أو تركها ولا مشقة في ترك الوقت لأن السنن الراتبة مع الفرائض تابعة للفرائض فيصليها في أوقاتها وكذلك في شدة الحرب الحاجة داعية إلى ترك القبلة فإنا لو ألزمناهم استقبال القبلة أدى إلى هزيمتهم أو قتلهم ولا حاجة بهم إلى ترك الوقت فإنه يصليها في وقتها وهو يقاتل .
فقلت له (أي الشيخ أبو إسحاق): أما قولك إنه كان يجب أن تطالبني بتصحيح العلة وتصرح ولا تكني فلا يصح لأني بالخيار بين أن أطالبك بتصحيح العلة وبين أن أذكر ما يدل على فسادها كما أن القائس بالخيار بين أن يذكر علة المسألة وبين أن يذكر ما يدل على العلة والجميع جائز فكذلك ها هنا
وأما قولك إن الجمع لو كان للعبادة لما جاز التأخير لا يصح لأنه لا يجوز التأخير لأنه يفعلها في وقتها وتقديمها أفضل لأنه وقت لها على سبيل القربة والفضيلة
وأما قولك إن ترك القبلة في النافلة والحرب للعجز أو المشقة فلا يصح لأنه كان يجب لهذا العجز أن يترك الوقت فتؤخر الصلاة في شدة الخوف ليؤديها على حال الكمال ويتوفر على القتال ولما لم يجز ترك الوقت وجاز ترك القبلة دل على أن فرض القبلة أخف من فرض الوقت فجاز أن يكون الاشتباه عذرا في سقوط فرض القبلة ولا يكون عذرا في ترك الوقت وهذا آخرها.
قال ابن الصلاح نقلتها من خط الشيخ أبي علي بن عمار وقال نقلتها من خط رجل من أصحاب الشيخ أبي إسحاق وذكر في آخر الخط أنه كتبها من خط الشيخ الإمام أبي إسحاق وقوله فيها فقلت له هذا حكاية قول الشيخ أبي إسحاق وهو دليل أنها نقلت من خطه.
وهنيئا لأهل العلم عامة وللشافعية خاصة هذين الإمامين العبقريين الذكيين
فكم أثريا في الفقه وأصوله ؟!
ولولا الجويني لما راح الغزالي ولا جاء في الفقه
رحم الله الجميع
@@@@@@@@@
وقد كانت تلك المناظرة عندما قدم الشيخ أبو إسحاق نيسابور لحاجة فاستقبله العام والخاص بالقبول التام.
فوقعت بينه وبين شيخ نيسابور وهو الجويني مناظرات عدة
قال عبد الغفار الفارسي: ورأيت إمام الحرمين عظمه أبلغ التعظيم واحترمه وقابله بغاية الإكرام وحضر المناظرة فشيعه إلى باب المدرسة وأعانه على الركوب بنفسه وخرج في بابه عن أهابه كما يليق بالحال
وقال السمعاني: سمعت جماعة يقولون: لما قدم أبو إسحاق نيسابور رسولا تلقوه، وحمل إمام الحرمين غاشيته، ومشى بين يديه وقال: أفتخر بهذا .ا.هـ
وهكذا فليكن الأدب والتواضع
وقد كان هذان الإمامان مضرب المثل في قوة المناظرة والجلد في البحث وشدة الذكاء
قال سلار العقيلي أوحد شعراء عصره :
كفاني إذا عنَّ الحوادثُ صارمٌ ****** يُنيلُنِي المأمولَ بالإثْر والأثرْ
يقُدُّ ويَفرِى في اللقاء كأنــه ****** لسان أبي إسحاق في مجلس النظرْ
قال الشيخ أبو إسحاق عن نفسه: كنت أعيد كل قياس ألف مرة، فإذا فرغت، أخذت قياسا آخر على هذا، وكنت أعيد كل درس ألف مرة، فإذا كان في المسألة بيت يستشهد به حفظت القصيدة التي فيها البيت.
وقال الشاعر المفلق عاصم بن الحسن فيه:
تراه من الذكاء نحيف جسم ***** عليه من توقده دليل
إذا كان الفتى ضخم المعاني ***** فليس يضيره الجسم النحيل
وقال أبو الوفاء بن عقيل _وهو الذي غسله يوم موته_ : شاهدت شيخنا أبا إسحاق لا يخرج شيئًا إلى فقير إلا أحضر النية، ولا يتكلم فى مسألة إلا قدَّم الاستعاذة بالله تعالى، وأخلص القصد فى نصرة الحق، ولا صنَّف شيئًا إلا بعدما صلى ركعات، فلا جرم شاع اسمه واشتهرت تصانيفه شرقًا وغربًا ببركة إخلاصه. قالوا: وكان مستجاب الدعوة.
وقال السبكي كان الشيخ أبو إسحاق غضنفرا في المناظرة لا يصطلى له بنار وقد قيل إنه كان يحفظ مسائل الخلاف كما يحفظ أحدكم الفاتحة.
قال بعض الأكابر : رأيت الإمام أبا إسحاق الشيرازي - رحمه الله - في النوم وعلى رأسه تاج ، وعليه ثياب بيض ، فقلت للشيخ وأشرت إلى الثياب البيض : ما هذا ؟ فقال : هذا عز العلم ، رضي الله عنه وغفر له ورحمه
وأما إمام الحرمين فلو لم يكن له إلا النهاية والبرهان لكفى ذلك دليلا
ولو أنه نجى من ضرر علم الكلام والإنهماك فيه لكان له شأن آخر في علوم الشريعة
لكن قدر الله وما شاء فعل
رحم الله الجميع وغفر لهمفكم أثريا في الفقه وأصوله ؟!
ولولا الجويني لما راح الغزالي ولا جاء في الفقه
رحم الله الجميع
@@@@@@@@@
وقد كانت تلك المناظرة عندما قدم الشيخ أبو إسحاق نيسابور لحاجة فاستقبله العام والخاص بالقبول التام.
فوقعت بينه وبين شيخ نيسابور وهو الجويني مناظرات عدة
قال عبد الغفار الفارسي: ورأيت إمام الحرمين عظمه أبلغ التعظيم واحترمه وقابله بغاية الإكرام وحضر المناظرة فشيعه إلى باب المدرسة وأعانه على الركوب بنفسه وخرج في بابه عن أهابه كما يليق بالحال
وقال السمعاني: سمعت جماعة يقولون: لما قدم أبو إسحاق نيسابور رسولا تلقوه، وحمل إمام الحرمين غاشيته، ومشى بين يديه وقال: أفتخر بهذا .ا.هـ
وهكذا فليكن الأدب والتواضع
وقد كان هذان الإمامان مضرب المثل في قوة المناظرة والجلد في البحث وشدة الذكاء
قال سلار العقيلي أوحد شعراء عصره :
كفاني إذا عنَّ الحوادثُ صارمٌ ****** يُنيلُنِي المأمولَ بالإثْر والأثرْ
يقُدُّ ويَفرِى في اللقاء كأنــه ****** لسان أبي إسحاق في مجلس النظرْ
قال الشيخ أبو إسحاق عن نفسه: كنت أعيد كل قياس ألف مرة، فإذا فرغت، أخذت قياسا آخر على هذا، وكنت أعيد كل درس ألف مرة، فإذا كان في المسألة بيت يستشهد به حفظت القصيدة التي فيها البيت.
وقال الشاعر المفلق عاصم بن الحسن فيه:
تراه من الذكاء نحيف جسم ***** عليه من توقده دليل
إذا كان الفتى ضخم المعاني ***** فليس يضيره الجسم النحيل
وقال أبو الوفاء بن عقيل _وهو الذي غسله يوم موته_ : شاهدت شيخنا أبا إسحاق لا يخرج شيئًا إلى فقير إلا أحضر النية، ولا يتكلم فى مسألة إلا قدَّم الاستعاذة بالله تعالى، وأخلص القصد فى نصرة الحق، ولا صنَّف شيئًا إلا بعدما صلى ركعات، فلا جرم شاع اسمه واشتهرت تصانيفه شرقًا وغربًا ببركة إخلاصه. قالوا: وكان مستجاب الدعوة.
وقال السبكي كان الشيخ أبو إسحاق غضنفرا في المناظرة لا يصطلى له بنار وقد قيل إنه كان يحفظ مسائل الخلاف كما يحفظ أحدكم الفاتحة.
قال بعض الأكابر : رأيت الإمام أبا إسحاق الشيرازي - رحمه الله - في النوم وعلى رأسه تاج ، وعليه ثياب بيض ، فقلت للشيخ وأشرت إلى الثياب البيض : ما هذا ؟ فقال : هذا عز العلم ، رضي الله عنه وغفر له ورحمه
وأما إمام الحرمين فلو لم يكن له إلا النهاية والبرهان لكفى ذلك دليلا
ولو أنه نجى من ضرر علم الكلام والإنهماك فيه لكان له شأن آخر في علوم الشريعة
لكن قدر الله وما شاء فعل
Selasa, 18 Mei 2010
بيان مسلك العلماء في تأويل ءاية الاستواء
بيان مسلك العلماء في تأويل ءاية الاستواء
اعلم أن لعلماء أهل الحق مسلكان كل منهما صحيح :
الأول : مسلك السلف وهم من كان من أهل القرون الثلاثة الأولى وقرن أتباع التابعين وقرن التابعين وقرن الصحابة وهو قرن الرسول صلى الله عليه وسلم ، هؤلاء يسمون السلف، والغالب عليهم أن يؤولوا الآيات المتشابهة تأويلا إجماليا بالإيمان بها واعتقاد أن لها معنى يليق بجلال الله وعظمته ليست من صفات المخلوقين بلا تعيين معنى خاص كآية : { الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى } [سورة طه ] وغيرها من المتشابه بأن يقولوا بلا كيف أو على ما يليق بالله، وهذا يقال له تأويل إجمالي، أي قالوا استوى استواء يليق به مع تنـزيهه عن صفات الحوادث، ونفوا الكيفية عن الله تعالى أي من غير أن يكون بهيئة ومن غير أن يكون كالجلوس والاستقرار والحركة والسكون وغيرها مما هو صفة حادثة. هذا مسلك غالب السلف ردّوها من حيث الاعتقاد إلى الآيات المحكمة كقول تعالى : {لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَىءٌ } [سورة طه ] وتركوا تعيين معنىً معيّن لها مع نفي تشبيه الله بخلقه .
قال الإمام الشافعي رضي الله عنه : ((ءامنت بما جاء عن الله على مراد الله، وبما جاء عن رسول الله صلى الله عليه وسلم على مراد رسول الله )) يعني رضي الله عنه لا على ما قد تذهب إليه الأوهام والظنون من المعاني الحسية الجسمية التي لا تجوز في حق الله تعالى.
قال الحافظ البيهقي في (( الأسماء والصفات )) ما نصه (ص407) : (( فأما الاستواء فالمتقدمون من أصحابنا رضي الله عنهم كانوا لا يفسرونه ولا يتكلمون فيه كنحو مذهبهم في أمثال ذلك )) ا هـ، وقال في موضع ءاخر (ص426) : (( وحكينا عن المتقدمين من أصحابنا ترك الكلام في أمثال ذلك، هذا مع اعتقادهم نفي الحد والتشبيه والتمثيل عن الله سبحانه وتعالى )) ا هـ ، ثم أسند (ص426) إلى أبي داود قوله: (( كان سفيان الثوري وشعبة وحماد بن زيد وحماد بن سلمة وشريك وأبو عوانة لا يحدون ولا يشبهون ولا يمثلون ، يروون الحديث لا يقولون كيف، وإذا سئلوا أجابوا بالأثر، قال أبو داود: وهو قولنا. قلت: وعلى هذا مضى أكابرنا )) اهـ، وقال في موضع ءاخر (ص 453) : (( عن الأوزاعي عن الزهري ومكحول قال : أمضوا الأحاديث على ما جاءت )) اهـ ، ثم قال : ((سئل الأوزاعي ومالك وسفيان الثوري والليث بن سعد عن هذه الأحاديث التي جاءت في التشبيه – أي ظاهرها يوهم ذلك – فقالوا : أمروها كما جاءت بلا كيفية )) اهـ ، وقال في موضع ءاخر (ص330): (( عن سفيان بن عيينة قال : كل ما وصف الله تعالى به نفسه في كتابه فتفسيره تلاوته والسكوت عليه )) اهـ، وقال الإمام مالك : (( الرحمن على العرش استوى كما وصف نفسه ، ولا يقال كيف ، وكيف عنه مرفوع ))، وفي رواية:((الاستواء غير مجهول والكيف غير معقول )) اهـ، رواهما البيهقي في (( الأسماء والصفات )) (ص408) ، وقال الإمام أحمد عندما سئل عن الاستواء : (( استوى كما أخبر لا يخطر للبشر)) (دفع شبه من شبه وتمرد ص 17) اهـ.
والثاني : مسلك الخلف وهم الذين جاءوا بعد السلف، وهم يؤولونها تفصيلا بتعيين معان لها مما تقتضيه لغة العرب ولا يحملونها على ظواهرها أيضا كالسلف، فيقولون استوى أي قهر، ومن قال استولى فالمعنى واحد أي قهر ، ولا بأس بسلوكه ولا سيما عند الخوف من تزلزل العقيدة حفظا من التشبيه .
قال الحافظ البيهقي في كتابه (( الاعتقاد )) ما نصه (ص72) : (( وأصحاب الحديث فيما ورد به الكتاب والسنة من أمثال هذا – يعني المتشابه – ولم يتكلم أحد من الصحابة والتابعين في تأويله على قسمين : منهم من قبله وءامن به ولم يؤوله ووكل علمه إلى الله ونفى الكيفية والتشبيه عنه، ومنهم من قبله وءامن به وحمله على وجه يصح استعماله في اللغة ولا يناقض التوحيد، وقد ذكرنا هاتين الطريقتين في كتاب (( الأسماء والصفات )) التي تكلموا فيها من هذا الباب )) اهـ.
وقال القاضي أبو بكر الباقلاني (ت403هـ) في كتابه (( الإنصاف )) ما نصه (ص64-65) : (( إنه تعالى متقدس عن الاختصاص بالجهات والاتصاف بصفات المحدثات ،وكذلك لا يوصف بالتحول والانتقال ولا القيام ولا القعود لقوله تعالى: { لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَىءٌ} [سورة الشورى] ، وقوله : { وَلَمْ يَكُن لَّهُ كُفُوًا أَحَدٌ }[ سورة الإخلاص ] ،ولأن هذه الصفات تدل على الحدوث، والله تعالى يتقدس عن ذلك . فإن قيل أليس قد قال : { الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى }[سورة طه ] ، قلنا : بلى قد قال ذلك، ونحن نطلق ذلك وأمثاله على ما جاء في الكتاب والسنة لكن ننفي عنه أمارة الحدوث ، ونقول : استواؤه لا يشبه استواء الخلق ، ولا نقول إن العرش له قرار ولا مكان – أي لا نقول إن العرش مكان له – لأن الله تعالى كان ولا مكان ، فلما خلق المكان لم يتغير عما كان )) اهـ.
وقال البيضاوي في تفسيره (م2 /ج3 /ص12) : { ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ } [سورة الأعراف] استوى أمره أو استولى ، وعن أصحابنا أن الاستواء على العرش صفه لله بلا كيف ، والمعنى أن له تعالى استواء على العرش على الوجه الذي عناه منـزها عن الاستقرار والتمكن )) اهـ.
فالحاصل أن الذي لا يحمل الآيات المتشابهة على ظاهرها بل يقول لها معان لا أعلمها تليق بالله تعالى غير هذه الظواهر مثلا استواء الله على العرش له معنى غير الجلوس وغير الاستقرار غير استواء المخلوقين لكن لا أعلمه فهذا سَلِمَ، وهذا هو الغالب على السلف حيث لا يخوضون بتعيين معان لها وتأويلها مع اعتقاد تنـزيه الله عن الجلوس والاستقرار. وكذلك الذي يقول استواء الله على العرش هو قهره للعرش سَلِمَ من التشبيه. فالأول هو التأويل الإجمالي أي يقول استوى استواء يليق به من غير أن يفسره بالقهر، والثاني هو التأويل التفصيلي أي يقول استوى معناه قهر، فمن شاء أخذ بذاك ومن شاء أخذ بهذا.
أما الوهابية فليسوا على ما كان عليه السف ولا الخلف، بل هم على مسلك المجسمة المشبهة، لأن الوهابية حملوا الاستواء على الاستقرار ومنهم من حمله على الجلوس فوقعوا في تشبيه الله بخلقه، فلا يقال عنهم (( السلفيون)) أو (( السلفية )) وإن سموا أنفسهم بذلك ليخدعوا الناس أنهم على مذهب السلف، وقد علمت أن مذهب السلف إنما هو التوحيد والتنـزيه دون التجسيم والتشبيه، والمبتدعة يزعمون أنهم على مذهب السلف، فهم كما قال القائل :
وكل يدعي وصلا بليلى وليلى لا تقر لهم بذاكا
اعلم أن لعلماء أهل الحق مسلكان كل منهما صحيح :
الأول : مسلك السلف وهم من كان من أهل القرون الثلاثة الأولى وقرن أتباع التابعين وقرن التابعين وقرن الصحابة وهو قرن الرسول صلى الله عليه وسلم ، هؤلاء يسمون السلف، والغالب عليهم أن يؤولوا الآيات المتشابهة تأويلا إجماليا بالإيمان بها واعتقاد أن لها معنى يليق بجلال الله وعظمته ليست من صفات المخلوقين بلا تعيين معنى خاص كآية : { الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى } [سورة طه ] وغيرها من المتشابه بأن يقولوا بلا كيف أو على ما يليق بالله، وهذا يقال له تأويل إجمالي، أي قالوا استوى استواء يليق به مع تنـزيهه عن صفات الحوادث، ونفوا الكيفية عن الله تعالى أي من غير أن يكون بهيئة ومن غير أن يكون كالجلوس والاستقرار والحركة والسكون وغيرها مما هو صفة حادثة. هذا مسلك غالب السلف ردّوها من حيث الاعتقاد إلى الآيات المحكمة كقول تعالى : {لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَىءٌ } [سورة طه ] وتركوا تعيين معنىً معيّن لها مع نفي تشبيه الله بخلقه .
قال الإمام الشافعي رضي الله عنه : ((ءامنت بما جاء عن الله على مراد الله، وبما جاء عن رسول الله صلى الله عليه وسلم على مراد رسول الله )) يعني رضي الله عنه لا على ما قد تذهب إليه الأوهام والظنون من المعاني الحسية الجسمية التي لا تجوز في حق الله تعالى.
قال الحافظ البيهقي في (( الأسماء والصفات )) ما نصه (ص407) : (( فأما الاستواء فالمتقدمون من أصحابنا رضي الله عنهم كانوا لا يفسرونه ولا يتكلمون فيه كنحو مذهبهم في أمثال ذلك )) ا هـ، وقال في موضع ءاخر (ص426) : (( وحكينا عن المتقدمين من أصحابنا ترك الكلام في أمثال ذلك، هذا مع اعتقادهم نفي الحد والتشبيه والتمثيل عن الله سبحانه وتعالى )) ا هـ ، ثم أسند (ص426) إلى أبي داود قوله: (( كان سفيان الثوري وشعبة وحماد بن زيد وحماد بن سلمة وشريك وأبو عوانة لا يحدون ولا يشبهون ولا يمثلون ، يروون الحديث لا يقولون كيف، وإذا سئلوا أجابوا بالأثر، قال أبو داود: وهو قولنا. قلت: وعلى هذا مضى أكابرنا )) اهـ، وقال في موضع ءاخر (ص 453) : (( عن الأوزاعي عن الزهري ومكحول قال : أمضوا الأحاديث على ما جاءت )) اهـ ، ثم قال : ((سئل الأوزاعي ومالك وسفيان الثوري والليث بن سعد عن هذه الأحاديث التي جاءت في التشبيه – أي ظاهرها يوهم ذلك – فقالوا : أمروها كما جاءت بلا كيفية )) اهـ ، وقال في موضع ءاخر (ص330): (( عن سفيان بن عيينة قال : كل ما وصف الله تعالى به نفسه في كتابه فتفسيره تلاوته والسكوت عليه )) اهـ، وقال الإمام مالك : (( الرحمن على العرش استوى كما وصف نفسه ، ولا يقال كيف ، وكيف عنه مرفوع ))، وفي رواية:((الاستواء غير مجهول والكيف غير معقول )) اهـ، رواهما البيهقي في (( الأسماء والصفات )) (ص408) ، وقال الإمام أحمد عندما سئل عن الاستواء : (( استوى كما أخبر لا يخطر للبشر)) (دفع شبه من شبه وتمرد ص 17) اهـ.
والثاني : مسلك الخلف وهم الذين جاءوا بعد السلف، وهم يؤولونها تفصيلا بتعيين معان لها مما تقتضيه لغة العرب ولا يحملونها على ظواهرها أيضا كالسلف، فيقولون استوى أي قهر، ومن قال استولى فالمعنى واحد أي قهر ، ولا بأس بسلوكه ولا سيما عند الخوف من تزلزل العقيدة حفظا من التشبيه .
قال الحافظ البيهقي في كتابه (( الاعتقاد )) ما نصه (ص72) : (( وأصحاب الحديث فيما ورد به الكتاب والسنة من أمثال هذا – يعني المتشابه – ولم يتكلم أحد من الصحابة والتابعين في تأويله على قسمين : منهم من قبله وءامن به ولم يؤوله ووكل علمه إلى الله ونفى الكيفية والتشبيه عنه، ومنهم من قبله وءامن به وحمله على وجه يصح استعماله في اللغة ولا يناقض التوحيد، وقد ذكرنا هاتين الطريقتين في كتاب (( الأسماء والصفات )) التي تكلموا فيها من هذا الباب )) اهـ.
وقال القاضي أبو بكر الباقلاني (ت403هـ) في كتابه (( الإنصاف )) ما نصه (ص64-65) : (( إنه تعالى متقدس عن الاختصاص بالجهات والاتصاف بصفات المحدثات ،وكذلك لا يوصف بالتحول والانتقال ولا القيام ولا القعود لقوله تعالى: { لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَىءٌ} [سورة الشورى] ، وقوله : { وَلَمْ يَكُن لَّهُ كُفُوًا أَحَدٌ }[ سورة الإخلاص ] ،ولأن هذه الصفات تدل على الحدوث، والله تعالى يتقدس عن ذلك . فإن قيل أليس قد قال : { الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى }[سورة طه ] ، قلنا : بلى قد قال ذلك، ونحن نطلق ذلك وأمثاله على ما جاء في الكتاب والسنة لكن ننفي عنه أمارة الحدوث ، ونقول : استواؤه لا يشبه استواء الخلق ، ولا نقول إن العرش له قرار ولا مكان – أي لا نقول إن العرش مكان له – لأن الله تعالى كان ولا مكان ، فلما خلق المكان لم يتغير عما كان )) اهـ.
وقال البيضاوي في تفسيره (م2 /ج3 /ص12) : { ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ } [سورة الأعراف] استوى أمره أو استولى ، وعن أصحابنا أن الاستواء على العرش صفه لله بلا كيف ، والمعنى أن له تعالى استواء على العرش على الوجه الذي عناه منـزها عن الاستقرار والتمكن )) اهـ.
فالحاصل أن الذي لا يحمل الآيات المتشابهة على ظاهرها بل يقول لها معان لا أعلمها تليق بالله تعالى غير هذه الظواهر مثلا استواء الله على العرش له معنى غير الجلوس وغير الاستقرار غير استواء المخلوقين لكن لا أعلمه فهذا سَلِمَ، وهذا هو الغالب على السلف حيث لا يخوضون بتعيين معان لها وتأويلها مع اعتقاد تنـزيه الله عن الجلوس والاستقرار. وكذلك الذي يقول استواء الله على العرش هو قهره للعرش سَلِمَ من التشبيه. فالأول هو التأويل الإجمالي أي يقول استوى استواء يليق به من غير أن يفسره بالقهر، والثاني هو التأويل التفصيلي أي يقول استوى معناه قهر، فمن شاء أخذ بذاك ومن شاء أخذ بهذا.
أما الوهابية فليسوا على ما كان عليه السف ولا الخلف، بل هم على مسلك المجسمة المشبهة، لأن الوهابية حملوا الاستواء على الاستقرار ومنهم من حمله على الجلوس فوقعوا في تشبيه الله بخلقه، فلا يقال عنهم (( السلفيون)) أو (( السلفية )) وإن سموا أنفسهم بذلك ليخدعوا الناس أنهم على مذهب السلف، وقد علمت أن مذهب السلف إنما هو التوحيد والتنـزيه دون التجسيم والتشبيه، والمبتدعة يزعمون أنهم على مذهب السلف، فهم كما قال القائل :
وكل يدعي وصلا بليلى وليلى لا تقر لهم بذاكا
Sabtu, 08 Mei 2010
TAWASUL DENGAN NABI DAN ORANG-ORANG SHOLEH
Kami pengikut Ahlussunnah tidak mengi’tiqadkan bahwa dzat seorang makhluk mempunyai pengaruh (ta’tsir), mampu mewujudkan sesuatu, menghilangkan, memberi manfaat dan memberi bahaya baik dzat Rasulallah, nabi-nabi, orang-orang shaleh dan lain-lain. Tetapi, kami meyakini bahwa hanya Allah yang dapat memberi manfaat dan bahaya serta yang lainnya.
Bertawassul dengan Rasulallah (baik dengan kedudukannya atau yang lain) atau orang-orang shalih bukan berarti menyembah kepada Rasulullah atau orang shalih tersebut seperti yang banyak di tuduhkan, sehingga memunculkan salah persepsi dari orang-orang yang anti terhadap ajaran tawassul dengan secara mutlak (dengan beraneka ragam bentuknya tawassul), bahwa orang yang bertawassul telah menjadi musyrik karena mendudukkan selain Allah di sepadankan dengan Allah dalam berdo'a. Akan tetapi tawassul adalah bentuk do'a yang di panjatkan kepada Allah dengan memakai perantara Nabi atau orang shalih, dengan harapan do'anya lebih di kabulkan oleh Allah. Hadits-hadits tentang itu semua sudah banyak di sampaikan oleh ulama, meski menurut sebagian kalangan yang sedikit mengerti mengenai derajat hadits, hadits-hadits dasar yang berkenaan dengan tawassul dengan Nabi atau orang shalih di anggap lemah semua.
Sayyid Mushthafa al-Bakri, seorang ulama madzhab Hanafi dan wali besar dalam tarekat Khalwatiyyah, menganalogikan tawassul dengan orang-orang shalih dan mulia di depan Allah dengan memohon bantuan orang yang mendapat kedudukan tinggi atau dekat dengan seorang raja, kemudian karena ingin tercapai maksudnya kepada raja, orang yang dekat dengan raja tersebut di jadikan sebagai perantara untuk di sampaikan kepada raja agar maksudnya sukses.
Sayyid Muhammad Alawi al-Maliki dalam Mafahim Yajibu An Tushahhash menjelaskan bahwasannya mencari perantara (wasilah) bukan sebagai bentuk syirik, karena jika mencari perantara kepada Allah adalah syirik, maka semua manusia adalah termasuk musyrik karena dalam semua urusan, mereka selalu memakai perantara. Lihat saja Rasulallah yang menerima wahyu al-Qur'an lewat perantara Malaikat Jibril, Rasulallah juga adalah perantara bagi para shahabat karena mereka kadang datang kepada beliau untuk mengadukan urusan-urusan mereka yang dianggap berat atau memohon doa dari beliau. Apakah pernah Rasulallah berkata pada mereka bahwa hal tersebut, yaitu memohon doa atau bantuan, adalah musyrik? Hal ini yang tidak banyak di ketehui oleh orang-orang yang anti terhadap tawassul.
As-Subki mengatakan: “Tawassul dengan Nabi ada tiga macam, yaitu: tawassul dengan Nabi dalam arti orang yang berharap hajatnya terkabulkan meminta kepada Allah lewat dengan (wasilah) diri Nabi Muhammad atau kedudukannya atau barakahnya. Dan masing-masing ada dasar haditsnya yang shahih.
Tawassul merupakan salah satu amalan yang sunnah dan tidak pernah diharamkan oleh Rasulullah saw, tidak pula oleh ijma para sahabat radhiallahu ‘anhum, tidak pula oleh para tabi’in dan bahkan oleh para Ulama serta Imam-Imam besar Muhadditsin. Bahkan Allah memerintahkannya, Rasul saw mengajarkannya, Sahabat radhiallahu ‘anhum mengamalkannya.
Tak ada pula yang membedakan antara tawassul pada yang hidup dan mati. Karena tawassul adalah berperantara pada kemuliaan seseorang, atau benda (seperti air liur yang tergolong benda) di hadapan Allah swt, bukanlah kemuliaan orang atau benda itu sendiri.
Boleh berdoa dengan tanpa perantara, boleh berdoa dengan perantara, boleh berdoa dengan perantara orang shalih, boleh berdoa dengan perantara amal kita yang shalih, boleh berdoa dengan perantara Nabi saw, boleh pada shalihin, boleh pada benda. Misalnya: “Wahai Allah Demi kemiliaan Ka’bah”, atau “Wahai Allah Demi kemuliaan Arafah”, dll. (Sumber: Kenalilah Aqidahmu: Al Habib Munzir al Musawa).
Tawassul adalah sebab (cara, sarana) yang dilegitimasi oleh syara’ sebagai sarana dikabulkannya permohonan seorang hamba. Tawassul dengan para Nabi & Wali diperbolehkan baik di saat mereka masih hidup atau mereka sudah meninggal. Karena mukmin yang bertawassul tetap berkeyakinan bahwa tidak ada yang menciptakan manfaat dan mendatangkan bahaya secara secara hakiki kecuali Allah. Para Nabi dan para Wali tidak lain hanyalah sebab dikabulkannya permohonan hamba karena kemuliaan dan ketinggian derajat mereka. Ketika seorang Nabi atau wali masih hidup, Allah swt yang mengabulkan permohonan hamba. Demikian pula setelah mereka meninggal, Allah juga yang mengabulkan permohonan seorang hamba yang bertawassul dengan mereka, bukan Nabi atau Wali itu sendiri. (Sumber: Membongkar Kebohongan buku: “Mantan Kiai NU menggugat”; Tim Lembaga Bahtsul Masail PC NU Jember).
Hadits yang dijadikan pijakan tentang tawassul dengan kedudukan Rasulullah di antaranya adalah hadits dengan sanad bagus riwayat ath-Thabarani dalam al-Mu’jam al-Kabir, bahwa Rasulullah menyebutkan dalam doanya:
بِحَقِّ نَبِيِّكَ وَاْلأَنْبِيَاءِ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِي
"Dengan haq Nabimu dan para Nabi-Nabi sebelumku"
Sedangkan dalil-dalil tentang tawassul dengan Nabi (baik saat beliau masih hidup atau sudah wafat), orang shalih, waliyullah dan lain-lain adalah: hadits riwayat at-Tirmidzi, Ibnu Majah, al-Hakim dan al-Bukhari serta Ahmad bin Hanbal dari ‘Utsman bin Hunaif, mengatakan: “Pada suatu waktu ada laki-laki buta datang kepada RasulUllah dan meminta supaya Rasulullah mendoakannya agar mendapatkan sehat wal afiyat, Rasulallah menjawab: ‘Jika kamu menginginkannya, aku dapat berdoa untukmu atau kamu bersabar dan itu lebih baik bagimu!’ Laki-laki itu menjawab: ‘Berdoalah untukku!’ Kemudian Rasulullah memerintahkan laki-laki tersebut berwudhu dengan baik dan berdoa sebagai berikut:
اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ وَأَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّكَ مُحَمَّدٍ نَبِيِّ الرَّحْمَةِ إِنِّي تَوَجَّهْتُ بِكَ إِلَى رَبِّي فِي حَاجَتِي هَذِهِ لِتُقْضَى لِيَ اللَّهُمَّ فَشَفِّعْهُ فِيَّ
“Wahai Tuhanku, aku meminta kepada Engkau dan aku menghadap kepada Engkau lewat Nabi Engkau Muhammad, Nabi rahmat. Wahai Nabi Muhammad, sesunguhnya aku menghadap kepada Rabb-ku lewat Engkau dalam memenuhi kebutuhanku ini sepaya Engkau dapat memenuhinya untukku. Wahai Tuhanku berilah syafaat kepadaku.”
Hadits ini adalah hadits shahih hasan sebagaimana disampaikan oleh at-Tirmidzi dan dishahihkan oleh al-Baihaqi. Hadits yang hampir senada dengan hadits di atas juga diriwayatkan oleh ath-Thabarani dalam al-Mu‘jam al-Kabir dan al-Mu‘jam ash-Shaghir.
Dalam hadits riwayat al-Baihaqi dan Ibnu Abi Syaibah dengan sanad shahih disebutkan bahwasannya orang-orang pernah mengalami kepayahan karena ketiadaan air di zaman Khalifah ‘Umar bin Khaththab. Kemudian Bilal bin Harits mendatangi makam Rasulallah dan berkata: “Memintalah engkau hujan untuk umatmu, karena mereka sedang kepayahan!” Kemudian Rasulallah datang dalam mimpi Bilal dan memberi kabar bahwa mereka akan diberi hujan.
Hadits riwayat al-Bukhari dalam Shahih-nya dari Anas bahwa ketika para shahabat kepayahan karena ketiadaan air, Umar bin Khaththab ber-istisqa’ lewat ‘Abbas bin Abdil Muththalib, beliau berdoa:
اللَّهُمَّ إِنَّا كُنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا فَتَسْقِينَا وَإِنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِعَمِّ نَبِيِّنَا فَاسْقِنَا
“Wahai Tuhanku, sesungguhnya kami bertawassul kepada Engkau lewat dengan Nabi kami dan Engkau memberu hujan kami. Dan kami bertawassul kepada Engkau lewat dengan paman Nabi kami, maka berilah kami hujan!”
Hadits riwayat al-Hakim dalam al-Mustadrak, Umar bin Khaththab mengatakan bahwa Rasulullah bersabda: “Ketika Nabi Adam melakukan kesalahan, dia bermunajat: “Wahai Rabb-ku, aku memohon kepada-Mu dengan lewat haq-Muhammad ketika Engkau mengampuni kesalahanku.” Lalu Allah berfirman: “Wahai Adam, bagaimana engkau tahu tentang Muhammad sementara Aku belum menciptakannya?” Adam menjawab: “Wahai Rabb-ku, karena ketika Engkau menciptakanku dengan tangan-Mu (kekuasaan-Mu) dan meniupkan ruh di jasadku dari ruh-Mu, aku mengangkat kepalaku dan aku melihat di tiang-tiang ‘Arsy tertulis La ilaha illallah, Muhammad Rasulallah, dan aku tahu Engkau tidak akan menyandarkan nama-Mu kecuali kepada makhluk yang paling Engkau kasihi.” Allah kembali berfirman: “Benar wahai engkau Adam, karena sesungguhnya Muhammad adalah makhluk yang paling Aku cintai; dan jika engkau memohon kepada-Ku lewat dengan haq-nya Aku akan mengampunimu. Andai bukan karena Muhammad, Aku tidak akan menciptakanmu. ”
Al-Alusi dalam kitab tafsirnya Ruh al-Ma'ani saat menguraikan ayat 35 dari surat al-Maidah tentang perintah mencari wasilah, menjelaskan di perbolehkannya bertawassul dengan kedudukan Rasulullah.
Ulama yang shaleh dari kalangan Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang membolehkan Tawassul (Sebagian diambil dari kitab Syawahid al-Haq karya Syaikh Yusuf an-Nabhani yang khusus menerangkan tentang tawassul atau istighatsah ) :
1. Al Imam Sufyan bin Uyainah (guru dari Al Imam Syafi’i & Imam Ahmad bin Hanbal).
2. Al Imam Abu Hanifah (pendiri Mazhab Hanafi).
3. Al Imam Muhammad bin al Hasan al Syaibani (murid Al Imam Abu Hanifah).
4. Al Imam Alauddin Abu Bakar bin Mas’ud al Kasani (ulama terkemuka madzhab Hanafi).
5. Al Imam Malik bin Anas (pendiri Mazhab Maliki).
6. Al Imam Asy Syafi’i (pendiri Mazhab Syafi’i).
7. Al Imam Ahmad bin Hanbal (pendiri Mazhab Hanbali).
8. Al Imam Abu Ali al Khallal (ulama terkemuka madzhab Hanbali).
9. Al Hafizh Ibn Hajar Al Asqalani.
10. Al Hafizh al Khatib al Baghdadi (penulis kitab Tarikh Baghdad)
11. Al Hafizh Ibnu Khuzaimah.
12. Al Hafizh Abu al Qasim ath Thabarani
13. Al Hafizh Abu Syaikh al Ashbihani.
14. Al Hafizh Abu Bakar bin al Muqri’ al Ashbihani.
15. Al Hafizh Ibn al Jauzi.
16. Al Hafizh adz Dzahabi.
17. Syaikh Yusuf bin Ismail al Nabhani.
18. Al Hafizh Abu Ishaq Ibrahim bin Ishaq al Harbi (ulama terkemuka madzhab Hanbali).
19. Al Hafizh Abu Ali al Husain bin Ali bin Yazid al Naisaburi (guru utama al Imam al Hakim).
20. Al Hafizh Abdul Ghani al Maqdisi (ulama terkemuka madzhab Hanbali).
21. Al Imam Abu al Khair al Aqtha al Tinati (murid al Imam Abu Abdillah bin al Jalla).
22. Al Hafizh Ibnu Asakir.
23. Al Hafizh Al Sakhawi.
24. Al Sya’rani.
25. Al Muhaddits Al Hafidh Al Imam Abu Zakariya Yahya bin Syaraf Annawawiy rahimahullah (Al Imam al Nawawi).
26. Al Hafizh Ibn Al Jazari.
27. Al Imam Muhammad bin Ali al Syaukani.
28. Al Hafizh al Baihaqi
29. Zainuddin Ali bin al-Husain (cucu Rasulallah)
30. Asy-Syihab Mahmud
31. Asy-Syihab Ahmad ad-Dimasyqi
32. Al-Juzuli dalam Dala’il al-Khairat
33. Muhammad al-Makki dalam shalawat Fathur Rasul
34. Muhammad asy-Syanwani, Syaikh Universitas Al-Azhar Cairo Mesir yang juga pengarang syarah Mukhtashar Abi Jamrah
35. Muhammad Wafa asy-Syadzili
sedang ulama yg melakukan tawasul dalam keterangan kitab yang laen sbg berikut:
1. Sufyan bin Uyainah (198 H / 813 M)
Sufyan bin Uyainah berkata: ada dua laki2 saleh yg dpt menurunkan hujan dg cara bertawassul dg mereka yaitu Ibnu 'Ajlan dan Yazid bin Yadzibin jabir. Perkataan ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal. (kitab al-'illal wa Ma'rifah al-Rijal juz I hal. 163-164 karya Ahmad bin Hanbal)
2 Imam Abu Hanifah (80-150 H/ 699-767 M)
perkataan Abu Hanifah ketika berziarah ke Madinah dan berdiri di hadapan makam Rosulullah saw. yaitu:
"Hai orang yg termulya di antara manusia dan jin dan sebaik-baik makhluk, berilah aku kemurahanmu dan ridloilah aku dg ridlomu. Aku merindukan kemurahan darimu, engkaulah satu2nya harapan Abu Hanifah"
(kitab al-Ziyaroh Nabawiyah hal. 56 karya Sayyid Muhammad al-Maliki)
3. Imam Syafii (150-204 H/ 767-819 M)
"Dari Ali bin Maimun beliau berkata: Aku telah mendengar Imam Syafii berkata: Aku selalu bertabarruk dg Abu Hanifah dan mendatangi makamnya dg berziarah setiap hari. Jika aku mempunyai hajat, maka aku menunaikan sholat 2 rokaat, lalu aku datangi makam beliau dan aku memohon hajat itu kepada Allah di sisi makamnya,sehingga tdk lama kemudian hajatku segera terkabulkan" (kitab Tarikh al-Baghdad juz I hal. 123 dg sanad yg shohih, karya al-Hafidz Abi Bakr Ahmad bin Ali)
4. Abu Ishaq bin Ibrahim bin Ishaq al-Harby (198-285 H/813-898 M)
Ibrahim al-Harby berkata: Makam Ma'ruf al-Karkhy adalah obat penawar yg sangat mujarab (maksudnya datanglah ke makam Ma'ruf al-Karkhy, sebab berdo'a di sisinya banyak manfaatnya dan dikabulkan (Kitab Tarikh al-Islam hal.1494 karya Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Utsman)
tawassul yg dilakukan oleh ulama' muta'akhirin
1. Ibnu Huzaimah (223-311 H/ 838-924 M)
"Kami berangkat bersama pemuka ahli hadits, Abu Bakr bin Huzaimah dan rekannya Abu Ali al-Tsaqofy beserta rombongan para guru utk berziarah ke makam Ali Ridlo bin Musa al-Kadzim di Thusi, ia (Abu Bakr bin Mu'ammal) berkata: Aku melihat keta'dliman beliau (Ibnu Huzaimah) thd makam itu,serta sikap tawadlu' terhadapnya dan do'a beliau yg begitu khusyu' di sisi makam itu sampai membuat kami bingung (kitab Tahdzib.... juz 7 hal. 339 karya Imam Ibnu Hajar al-Asqolany)
2. Abu Qosim al-Thobary (260-360 H/874-971 M) Abu al-Syaikh al-Asbihany (274-369 H/ 897-979 M)dan Abu Bakar bin Muqry al-Asbihany (273-381 H/ 896-991 M) Mereka mengisahkan kondisi mereka dlm keadaan lapar selama satu tahun kurang makan,lalu setelah waktu Isya' mereka bertawasul dan beristighosah dg cara mengunjungi makam Rosulullah saw seraya berkata demikian: "Yaa Rosulullah kami semua lapar dan lapar" dan saat salah satu mau pulang,al-Thobary berkata: Duduklah,kita tunggu datangnya rizki atau kematian, kemudian 2 org teman al-Thobary tidur di sisi makam Rosulullah saw,sedang al-Thobary duduk sambil memandang sesuatu, tiba2 datang seorang lelaki 'alawy (yaitu keturunan Nabi saw) bersama dg 2 budaknya yg masing2 membawa keranjang yg penuh dg makanan. Lalu kami duduk dan makan bersama, kemudian lelaki 'alawy berkata: Hai kamu apakah kamu semua mengadu kpd Rosulullah? Aku barusan bermimpi bertemu dg Rosulullah saw dan menyuruh aku membawakan makanan untuk kamu sekalian (kitab al-Wafa bi Ahwal al-Musthafa hal.818 karya Ibnu al-Jauzy)
3. Abu Ali al-Husaini bin Ali bin Yazid al-Asbihany (277-349 H/ 900-961 M) beliau berkomentar sebagai berikut:
"Al-Hakim berkata bahwa aku telah mendengar Abu Ali al-Naisabury berkata: Pada suatu ketika aku dlm kesusahan yg sangat mendalam,lalu aku bermimpi bertemu Rosulullah saw. dan beliau berkata kpdku: "Pergilah ke makam Yahya bin Yahya (142-226 H/ 759-840 M),bacalah istighfar dan berdo'alah kpd Allah nanti kebutuhanmu akan dikabulkan" Kemudian pagi harinya aku melakukan hal tersebut,lalu kebutuhanku segera dikabulkan (kitab Tahdzib...juz 11 hal. 261 karya Imam Ibnu Hajar al-Asqolani)
4. Ibnu Taimiyah berkomentar dlm kitabnya Al-Kawakib Al Durriyah juz 2 hal. 6 yaitu:
"Tidak ada perbedaan antara orang hidup dan orang mati seperti yg dianggap sebagian orang. Jelas shohih hadits riwayat sebagian sahabat bahwa telah diperintahkan kpd orang2 yg punya hajat di masa Kholifah Utsman untuk bertawasul kpd nabi setelah beliau wafat (berdo'a dan bertawasul di sisi makam Rosulullah) kemudian mereka bertawasul kpd Rosulullah dan hajat mereka terkabul, demikian diriwayatkan al-Thabary"
>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>
DIBAWAH INI ANE TAMBAHKAN CATATAN MENARIK COPAS DR JAWABAN AKHI EKO ISKANDAR DIGRUOP ISLAM DENGAN SUNNAH DAN BID`AH HASANAH
TAWASSUL
Para ulama seperti al Imam al Hafizh Taqiyyuddin al Subki menegaskan bahwa tawassul, istisyfa’, istighatsah, isti’anah, tajawwuh dan tawajjuh, memiliki makna dan hakekat yang sama. Mereka mendefinisikan tawassul –dan istilah istilah lain yang sma – dengan definisi sbb:
“Memohon datangnya manfaat (kebaikan) atau terhindarnya bahaya (keburukan) kepada Allah dengan menyebut nama seorang nabi atau wali untuk memuliakan (ikram) keduanya.“ (Al Hafizh al Abdari, al Syarh al Qawim, hal 378). Sumber: Membongkar Kebohongan buku: “Mantan Kiai NU menggugat”; Tim Lembaga Bahtsul Masail PC NU Jember.
Tawassul merupakan salah satu amalan yang sunnah dan tidak pernah diharamkan oleh Rasulullah saw, tidak pula oleh ijma para sahabat radhiallahu ‘anhum, tidak pula oleh para tabi’in dan bahkan oleh para Ulama serta Imam-Imam besar Muhadditsin. Bahkan Allah memerintahkannya, Rasul saw mengajarkannya, Sahabat radhiallahu ‘anhum mengamalkannya.
Tak ada pula yang membedakan antara tawassul pada yang hidup dan mati. Karena tawassul adalah berperantara pada kemuliaan seseorang, atau benda (seperti air liur yang tergolong benda) di hadapan Allah swt, bukanlah kemuliaan orang atau benda itu sendiri.
Boleh berdoa dengan tanpa perantara, boleh berdoa dengan perantara, boleh berdoa dengan perantara orang shalih, boleh berdoa dengan perantara amal kita yang shalih, boleh berdoa dengan perantara Nabi saw, boleh pada shalihin, boleh pada benda. Misalnya: “Wahai Allah Demi kemiliaan Ka’bah”, atau “Wahai Allah Demi kemuliaan Arafah”, dll. (Sumber: Kenalilah Aqidahmu: Al Habib Munzir al Musawa).
Berdoa dengan bertawassul artinya memohon kepada Allah dengan menyebut sesuatu yang dicintai dan diridhai Allah. Contohnya: “Ya Allah, berkat kebesaran Nabi-Mu Muhammad saw, mudahkanlah segala urusanku Yang Engkau ridhai.”
Seseorang yang bertawassul berarti mengaku bahwa dirinya penuh kekurangan. Dengan segala kekurangannya tsb, dia sadar bahwa doanya sulit dikabulkan. Oleh karena itu ia pun meminta syafa’at kepada sesuatu atau seseorang yang – menurut prasangka baiknya – dicintai Allah swt. Inilah hakikat tawassul. (sumber: Mana Dalilnya; Al Habib Novel bin Muhammad Alaydrus).
Tawassul adalah sebab (cara, sarana) yang dilegitimasi oleh syara’ sebagai sarana dikabulkannya permohonan seorang hamba. Tawassul dengan para Nabi & Wali diperbolehkan baik di saat mereka masih hidup atau mereka sudah meninggal. Karena mukmin yang bertawassul tetap berkeyakinan bahwa tidak ada yang menciptakan manfaat dan mendatangkan bahaya secara secara hakiki kecuali Allah. Para Nabi dan para Wali tidak lain hanyalah sebab dikabulkannya permohonan hamba karena kemuliaan dan ketinggian derajat mereka. Ketika seorang Nabi atau wali masih hidup, Allah swt yang mengabulkan permohonan hamba. Demikian pula setelah mereka meninggal, Allah juga yang mengabulkan permohonan seorang hamba yang bertawassul dengan mereka, bukan Nabi atau Wali itu sendiri. (Sumber: Membongkar Kebohongan buku: “Mantan Kiai NU menggugat”; Tim Lembaga Bahtsul Masail PC NU Jember).
Baginda Nabi Muhammad saw melakukan tawassul
Dalam hadits dibawah ini akan disebutkan dengan jelas bahwa Rasulullah saw bertawassul dengan diri beliau sendiri dan dengan semua Nabi sebelum beliau, yang kesemuanya telah meninggal dunia kecuali Nabi Isa as. (Sumber: Mana Dalilnya; Al Habib Novel bin Muhammad Alaydrus).
Sulaiman bin Ahmad bin Ayyub Ath Thabrani dalam Mu’jamul Kabir; Maktabatul Ulum wal Hikam, juz 24. cet II Mushil, 1983, hal. 351. Diceritakan sbb:
Ketika ibunda dari Khalifah Ali bin Abi Thalib ra yang bernama Fathimah binti Asad rha meninggal dunia, Rasulullah saw memberikan pakaiannya untuk dijadikan kain kafan. Kemudian beliau memerintahkan Usamah bin Zaid, Abu Ayyub al Anshari, Umar bin Khaththab, dan seorang pemuda berkulit hitam untuk menggali lubang kubur. Mereka pun melaksanakan perintah Rasul saw. Namun ketika hendak menggali liang lahat, Rasulullah saw memerintahkan mereka untuk berhenti. Kemudian dengan kedua tangannya yang mulia, beliau sendiri yang menggali liang lahat dan membuang tanahnya. Setelah selesai, beliau berbaring di dasar kubur dan kemudian berkata:
“Allah adalah yang Maha Menghidupkan dan Maha Mematikan dan Dia Maha Hidup dan tidak akan pernah mati. Ampunilah ibuku Fathimah binti Asad dan bimbinglah dia untuk mengucapkan hujjahnya serta luaskanlah kuburnya, DENGAN HAK (KEMULIAAN) NABI-MU DAN PARA NABI SEBELUMKU. Karena sesungguhnya Engkau Maha Pengasih dari semua yang berjiwa kasih.”
Setelah itu Rasulullah saw menshalatkan jenazah beliau dan memakamkannya dibantu oleh Abbas dan Abu Bakar Ash Shiddiq. (Hadits Riwayat Thabrani) Menurut Al Hafizh al Ghimari hadits ini merupakan hadits hasan, sedangkan menurut Ibnu Hibban adalah hadits shahih.
Tawassul para Sahabat radhiallahu ‘anhum dengan Baginda Nabi Muhammad saw setelah beliau saw wafat. (Sumber: Mana Dalilnya; Al Habib Novel bin Muhammad Alaydrus).
Sulaiman bin Ahmad bin Ayyub Ath Thabrani dalam Al Mu’jamus Shaghir; Maktabatul Islami Darul Ummar, juz 1. cet I Beirut, 1983, hal. 306. Diceritakan sbb:
Dalam Sunan Tirmidzi disebutkan bahwa Utsman bin Hunaif ra berkata:
Ada seorang lelaki tuna netra datang menemui Nabi saw dan meminta beliau untuk mendoakannya agar dapat melihat kembali. Pada saat itu Rasulullah saw memberikan dua pilihan kepadanya, yaitu didoakan sembuh atau bersabar dengan kebutaannya tersebut. Tetapi lelaki itu berkeras minta didoakan agar dapat melihat kembali.
Rasulullah saw kemudian memerintahkannya untuk berwudhu dengan baik dan membaca doa berikut:
“Ya Allah, sesungguhnya aku memohon dan berdoa kepada Mu dengan (bertawassul dengan) Nabi-Mu Muhammad, Nabi yang penuh kasih sayang. (Duhai Rasul) Sesungguhnya aku telah bertawajjuh kepada Tuhanku dengan (bertawassul dengan) –mu agar hajatku ini terkabul. Ya Allah, terimalah syafaat beliau untukku. (HR Tirmidzi dan Abu Dawud).
Imam Tirmidzi menyatakan hadits ini sebagai hadits hasan sahih. Imam Hakim dan Adz Dzahabi juga menyatakan hadits ini sebagai hadits shahih.
Dalam hadits di atas, Rasulullah saw mengajarkan cara kita bertawassul kepada beliau. Tawassul seperti ini tidak hanya berlaku ketika beliau masih hidup, akan tetapi juga dapat dilakukan setelah wafat beliau saw. Buktinya SEJUMLAH SAHABAT MENGGUNAKAN TAWASSUL INI SEPENINGGAL NABI MUHAMMAD SAW. Bahkan mereka mengajarkannya kepada orang lain.
Ketika menyebutkan hadits di atas, Imam Thabrani menceritakan bahwa ada seorang lelaki yang sering kali mengunjungi Khalifah Utsman bin Affan ra untuk menyampaikan kepentingannya. Tetapi khalifah Utsman bin Affan ra tidak sempat memperhatikannya.
Ketika bertemu dengan Ustman bin Hunaif, lelaki itu menceritakan permasalahan yang ia hadapi. Utsman bin Hunaif kemudian memerintahkan lelaki itu untuk berwudhu, mengerjakan shalat dua rakaat di masjid, membaca doa tsb di atas dan kemudian mendatanginya untuk diajak pergi menemui sayyidina Utsman bin Affan.
Setelah melaksankan saran Utsman bin Hunaif, lelaki itu pergi menghadap khalifah Utsman bin Affan ra. Sesampainya di depan pintu, penjaga menyambutnya, membawanya masuk dengan menggandeng tangannya. Sayyidina Utsman bin Affan ra kemudian mendudukkannya di permadani tipis di dekatnya dan kemudian bertanya kepadanya, “Apa Hajatmu ?” Setelah menyebutkan semua hajatnya, sayyidina Utsman ra pun memenuhi permintaanya. Kemudian beliau ra berkata, “Kenapa baru sekarang kau sampaikan hajatmu? Setiap kali kau butuhkan sesuatu, segeralah datang kemari.”
Ketika meninggalkan kediaman Sayyidina Utsman ra, lelaki itu bertemu dengan Utsman bin Hunaif ra. “Semoga Allah membalas kebaikanmu. Sebelum engkau ceritakan perihalku kepadanya, beliau tidak pernah memperhatikan hajatku maupun memandangku.” ujar lelaki itu kepada Utsman bin Hunaif.
Jawaban Utsman bin Hunaif: “Demi Allah, aku tidak mengatakan apapun kepadanya (Sayyidina Utsman bin Affan ra). Hanya saja aku menyaksikan seorang lelaki tuna netra datang menemuin Rasulullah saw mengeluhkan kebutaannya ... (sampai akhir cerita tsb di atas).
ISTIGHATSAH
Al Habib Novel bin Muhammad Alaydrus menjelaskan dalam buku beliau; Mana Dalilnya; sbb:
Allah swt tidak pernah melarang kita untuk meminta tolong kepada makhluk-Nya. Hanya saja, Allah mengingatkan seluruh hamba-Nya, bahwa pada hakikatnya hanya Dia lah yang dapat memberi pertolongan.
Dalam syariat, Istighatsah diartikan sebagai permintaan tolong kepada Nabi, Rasul, atau orang saleh – yang masih hidup maupun yang telah meninggal dunia – untuk mendoakan agar ia dapat memperoleh manfaat atau terhindar dari keburukan dan lain sebagainya. (Intabih Dinuka fi Khathar; Abu Abdillah Alwi Al Yamani; Darul Kutub, Shan’a, 1997 hal. 51).
Istighatsah Dengan Yang Hidup
Dalam Shahih Bukhari diceritakan bahwa pada suatu hari Jum’at, ketika Rasulullah saw berdiri menyampaikan khutbah, tiba–tiba datang seorang lelaki lewat pintu masjid yang menghadap langsung ke mimbar. Ia berdiri tepat di hadapan Rasulullah saw kemudian berkata: “ Duhai Rasulullah, hewan-hewan ternak telah binasa dan jalan–jalan terputus. Berdoalah kepada Allah agar Ia menurunkan hujan kepada kita semua”. Rasulullah saw mengangkat kedua tangannya dan berdoa ; “Ya Allah berilah kami hujan, Ya Allah berilah kami hujan, Ya Allah berilah kami hujan.” Doa Rasul pun terkabul, hujan turun selama seminggu hingga lelaki itu datang kembali dan meminta Rasul untuk berdoa agar hujan berhenti.
Saudaraku, bukankah Allah Maha Mendengar dan Maha Mengabulkan doa setiap muslim yang memohon kepada Nya, lalu mengapa lelaki itu tidak berdoa sendiri? Dan mengapa Rasulullah saw tidak berkata: “Mintalah kepada Allah secara langsung, tidak perlu meminta pertolonganku”. Sebab lelaki itu menyadari bahwa dirinya penuh kekurangan. Ia sadar bahwa dirinya belum memenuhi semua syarat terkabulnya doa. Rasulullah saw tidak menolak permohonannya, sebab sudah menjadi tanggung jawab setiap muslim, terutama pemimpinnya, untuk menolong saudaranya sesama muslim dengan segenap kemampuan yang diberikan Allah swt kepadanya. Inilah yang disebut dengan Istighatsah.
Istighatsah dengan Yang Telah Meninggal Dunia.
Jika kita oleh syariat diizinkan untuk meminta tolong kepada teman kita, kepada guru kita, kepada kaum Sholihin, kepada para Malaikat, maka meminta tolong kepada mereka yang telah meninggal dunia hukumnya juga sama. Sebab, setelah meninggal dunia, mereka tetap saudara kita.
Kita mungkin melihat dan mendengar seseorang yang menziarahi sebuah makam Waliyullah, seorang yang shaleh, kemudian berkata: “Wahai Syaikh Fulan, doakan agar kami dapat menjadi muslim yang baik, dapat mendidik anak-anak kami dengan benar ...”
Istighatsah semacam ini diizinkan oleh syariat. Sebab pada intinya tidak ada perbedaan antara Istighatsah dengan yang hidup atau dengan mereka yang telah meninggal dunia.
Al Habib Munzir Al Musawa dalam buku beliau: “Kenalilah Aqidahmu” menjelaskan sbb:
Pada hakekatnya memanggil nama seseorang untuk meminta pertolongannya adalah hal yang diperbolehkan selama ia seorang Muslim, Mukmin, Shalih, dan diyakini mempunyai Manzilah di sisi Allah swt, tidak pula terikat ia masih hidup atau telah wafat. Karena bila seseorang mengatakan ada perbedaan dalam kehidupan dan kematian atas manfaat dan mudharrat maka justru dirisaukan ia dalam kemusyrikan yang nyata. Karena seluruh manfaat dan mudharrat berasal dari Allah swt, maka kehidupan dan kematian tidak bisa membuat batas dari manfaat dan mudharrat kecuali dengan izin Allah swt. Ketika seseorang berkata bahwa orang mati tidak bisa memberi manfaat, dan orang hidup bisa memberi manfaat, maka dirisaukan ia telah jatuh dalam kekufuran karena menganggap kehidupan adalah sumber manfaat dan kematian adalah mustahilnya manfaat. Padahal manfaat dan mudharrat itu dari Allah. Dan kekuasaan Allah tidak dapat dibatasi dengan kehidupan dan kematian.
Al Habib Novel bin Muhammad Alaydrus menjelaskan dalam buku beliau; Mana Dalilnya; sbb:
Pertama, Pada hakikatnya Para Nabi dan Kaum Shalihin yang dirihai Allah adalah hidup di kuburnya. Allah swt berfirman dalam Al Qur’an Surat Ali Imran ayat 169: “ Dan janganlah kamu kira orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati, mereka bahkan hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezeki.”
Kedua, Yang mati masih dapat memberikan manfaat kepada yang masih hidup.
Dalam Tafsir Ibnu Katsir; (Ismail bin Umar bin Katsir Ad Dimsyqi); juz 2, Darur Fikr, Beirut 1401 H , hal. 388. Beliau, Ibnu Katsir ra ketika menafsirkan ayat 105 Surat At taubah yang berbunyi, “Dan katakanlah, beramallah kalian, maka Allah dan rasul-Nya serta orang-orang yang beriman akan melihat amal kalian.”
Beliau ketika menafsirkan ayat tsb berkata:
“Telah diriwayatkan bahwa semua amal orang yang masih hidup dipertontonkan kepada keluarga dan kerabat mereka yang telah meninggal dunia di alam barzakh, sebagaimana dinyatakan oleh Abu Dawud ath Thayalisi.”
Selanjutnya Al Habib Novel bin Muhammad Alaydrus menjelaskan bahwa dalam hadits dibawah ini dinyatakan bahwa yang mati masih dapat mendoakan yang hidup. Ini merupakan salah satu bukti bahwa mereka masih dapat bermanfaat bagi yang hidup.
“Sesungguhnya semua amal kalian akan dipertontonkan kepada kerabat dan keluarga kalian di kubur mereka. Jika (melihat) amal yang baik, mereka merasa bahagia dengannya. Dan jika (melihat) amal yang buruk, mereka berdoa, “Ya Allah, berilah mereka ilham (ide) untuk melakukan amal taat kepadamu.”
Abu Bakar bin Abdullah bin Muhammad bin Abi Syaibah Al Kufi dalam Mushannif Ibnu Abi Syaibah menuliskan: Ibnu Abi Syaibah menyebutkan bahwa pada masa pemerintahan Sayyidina Umar ra terjadi panceklik. Saat itu Bilal bin Harits Al Muzani berziarah ke makam Rasulullah saw dan berkata : “Duhai Rasulullah saw. Mintakan hujan kepada Allah untuk umatmu, karena sesungguhnya mereka telah binasa.” Tak lama kemudian ia bermimpi bertemu dengan Nabi saw yang berkata kepadanya: “Temuilah Umar, sampaikan salamku kepadanya dan beritahukan bahwa mereka akan memperoleh hujan.” Ibnu Hajar Al Asqalani menyatakan bahwa sanad hadits ini shahih.
Dalam Atsar di atas disebutkan dengan jelas bahwa sahabat Bilal bin Harits al Muzani ber-istighatsah dengan Rasulullah saw jauh hari setelah beliau wafat dan tidak ada seorang sahabat pun yang menentangnya.
Tim Lembaga Bahtsul Masa’il PC NU Jember dalam buku : Membongkar Kebohongan Buku “Mantan Kiai NU Menggugat Sholawat & Dzikir Syirik” juga memuat & menjelaskan hadits sbb:
“Diriwayatkan dari Abdullah ra, Nabi saw bersabda: “Hidupku adalah kebaikan bagi kalian dan matiku adalah kebaikan bagi kalian. Ketika aku hidup kalian melakukan banyak hal lalu dijelaskan hukumnya melalui aku. Matiku juga kebaikan bagi kalian, diberitahukan amal perbuatan kalian. Jika aku melihat amal kalian baik maka aku memuji Allah karenanya. Dan jika aku melihat amal kalian yang buruk, maka aku memohonkan ampun untuk kalian kepada Allah.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Al Bazzar dalam Musnadnya. Hadits di atas menunjukkan bahwa meskipun Rasulullah saw sudah meninggal, beliau tetap bermanfaat bagi umatnya, seperti bisa mendoakan dan memohon ampun kepada Allah untuk umatnya. Oleh karena itu dibolehkan bertawassul dan ber-istighatsah dengan beliau, memohon didoakan oleh Beliau saw meskipun beliau sudah meninggal.
“Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar ra, bahwa suatu ketika kaki beliau terkena mati rasa, maka salah seorang yang hadir mengatakan kepada beliau: “Sebutkanlah orang yang paling anda cintai.” Lalu Ibnu Umar berkata: “Yaa Muhammad.” Maka seketika itu kaki beliau sembuh.
Hadits shahih ini diriwayatkan oleh Imam al Bukhari dalam al Adab al Mufrad. Hadits di atas menunjukkan bahwa sahabat Abdullah bin Umar ra melakukan Tawassul & Istighatsah dengan menggunakan redaksi Nida’ (memanggil) “Yaa Muhammad” yang artinya “adrikni bi du’aika yaa Muhammad” (tolonglah aku dengan doamu kepada Allah wahai Muhammad). Hal ini dilakukan setelah Rasulullah saw wafat. Sehingga hadits ini menunjukkan bahwa bertawassul dan beristighatsah dengan Rasulullah saw setelah beliau wafat meskipun dengan menggunakan redaksi nida’ (memanggil), yang berarti nida’ al mayyit (memanggil seorang Nabi atau Wali yang telah meninggal) bukanlah termasuk syirik.
Al Habib Zain bin Ibrahim bin Sumaith menjelaskan bahwa : Para Nabi as, demikian pula orang-orang yang syahid, tetap hidup dalam kubur mereka, yakni dengan kehidupan alam barzakh. Mereka mengetahui –apa yang Allah kehendaki untuk mereka ketahui– terkait dengan berbagai keadaan di alam ini. Pastinya, kehidupan para Nabi as, dan orang-orang yang mewarisi mereka, lebih utuh dan lebih sempurna daripada kehidupan orang-orang yang mati syahid , karena mereka memiliki kedudukan yang lebih tinggi dibanding orang-oarng yang mati syahid. Dalilnya adalah firman Allah swt: “Maka mereka itu akan bersama-sama dengan orang yang diberi nikmat oleh Allah, (yaitu) para Nabi, Para Pecinta Kebenaran, Orang-orang yang Mati Syahid, dan Orang-orang Shalih. Metreka itulah teman yang sebaik-baiknya.” – QS An Nisa : 69.
Dalam hadits-hadits shahih dinyatakan bahwa mereka tetap dalam kondisi hidup, dan bumi tidak memakan hasad mereka. Anas ra mengatakan Nabi saw bersabda: “Pada malam saat aku mengalami Isra’, aku menemui Musa as berdiri di atas kuburnya di bukit pasir merah (Muslim: 2385).
Beliau saw bersabda, “Sesungguhnya Allah mengharamkan bagi bumi memakan jasad para Nabi. (Disampaikan oleh Abu daud: 1047, An Nasai: 1374, Ibnu Majah: 1085, Ad Darimi: 1572, dan Ahmad: IV:8, dari riwayat Aus bin Aus ra).
Disebutkan pula dalam sebuah riwayat bahwa mereka pun bershalawat dan beramal seperti mereka hidup. Diantaranya adalah sabda Nabi saw, “para Nabi hidup dan shalat di kubur mereka.” (Disampaikan oleh Abu Ya’la dalam al Musnad dari hadits riwayat Anas bin Malik ra).
Para Ulama mengatakan, kwenyataan ini tidak bertentangan dengan ketentuan bahwasanya akhirat bukan negeri Taklif (pembebanan) atas kewajiban ataupun amal. Amal dapat terlaksana walau tanpa ada pembebanan, yakni hanya untuk dinikmati.
Al Imam al Habib Abdullah bin Alawi al Haddad (Shahibur Ratib) mengatakan: sesungguhnya manfaat yang diberikan orang-orang yang sudah wafat kepada orang-orang yang masih hidup lebih banyak daripada manfaat yang diberikan orang-orang hidup kepada mereka. Karena orang-orang yang masih hidup sibuk dengan perhatian mereka pada masalah rizqi hingga hal tsb terlalaikan. Sementara orang-orang yang sudah wafat telah terlepas dari masalah rizqi duniawi dan tidak memperdulikannya lagi kecuali berupa amal-amal shalih yang mereka persembahkan. Mereka tidak memiliki keterkaitan (dengan masalah rizqi) kecuali dengan amal-amal mereka itu, seperti halnya para malaikat.
Ketahuilah, pemaparan di atas tidak bertentangan dengan sabda Nabi saw, “Jika anak Adam (manusia) mati, terputuslah amalnya kecuali tiga.” (Disampaikan oleh Muslim: 1631 dan yang lainnya, dari hadits riwayat Abu Hurairah ra). Maksudnya, amal seseorang untuk dirinya itu sendiri terputus, yaitu amal yang terkait dengan beban kewajiban beramal untuk mendapatt ganjaran. Amal seperti ini terputus baginya karena kematiannya. Adapun amalnya (orang yang telah wafat) untuk orang lain, seperti doa dan permohonan ampunan yang ia lakukan untuk orang yang masih hidup, pada hadits tersebut tidak menunjukkan adanya keterputusan amal. Bahkan, sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, amalnya tetap berlaku setelah mati. (Sumber: Majalah Al Kisah no. 01, tanggal 11-24 Januari 2010).
Langganan:
Postingan (Atom)