Jumat, 19 November 2010

HARAM IJTIHAD DAN WAJIB TAQLID

HARAM IJTIHAD DAN WAJIB TAQLID
oleh Prof DR.KH.Ibrohim Hosen LML
Bagi orang-orang yang tidak memenuhi persyaratan ijtihad
baik mereka ulama maupun awam, haram bagi mereka berijtihad.
Sebab ijtihad yang dilakukannya justru akan membawa pada
kesesatan. Dan Allah berfirman, yang artinya, "Allah tidak
menaklif/memberi pembenahan kewajiban kepada seseorang
kecuali sesuai dengan kemampuannya."

Orang-orang yang tidak memenuhi persyaratan ijtihad semacam
itu wajib mengikuti pendapat imam mujtahid yang mu'tabar
atau istifta'/meminta penjelasan hukum kepada ahl al-dzikr,
sejalan dengan firman-Nya, "Bertanyalah kepada ulama apabila
kamu tidak mengerti." (QS. al-Nahl: 43).

WAJIB IJTIHAD DAN HARAM TAQLID

Bagi orang-orang yang memenuhi persyaratan ijtihad maka
wajib bagi mereka berijtihad dan mengamalkan hasil
ijtihadnya. Tidak dibenarkan/haram baginya bertaqlid atau
mengikuti pendapat mujtahid yang lain. Kearah inilah harus
kita fahami ucapan imam-imam mujtahid kenamaan seperti
Hanafi, Syafi'i dan lain-lain yang melarang taqlid. Artinya,
bagi yang mampu berijtihad sendiri karena telah memenuhi
persyaratannya janganlah mengikuti atau bertaqlid kepada
mujtahid yang lain, tetapi wajib berijtihad sendiri.

Dengan demikian tidak benar jika kita mengatakan bahwa
ijtihad itu wajib dan taqlid itu haram secara mutlaq/tanpa
ada batasan. Sebab tidak realistis. Kenyataan menunjukkan
bahwa sejak dahulu sampai saat sekarang dan akan berlanjut
terus sampai akhir zaman nanti, mayoritas umat Islam dari
kalangan awam. Yang awam ini jelas tidak mungkin untuk
dipaksakan harus mengupayakan dirinya menjadi mujtahid.
Diantara ulama yang mengharamkan taqlid dan mewajibkan
ijtihad tanpa ada batasan-batasan tertentu ialah Ibnu Hazm
dan al-Syaukany.

Bagi kita yang harus kita tempuh ialah mengusahakan
bagaimana agar lahirnya ulama-ulama yang ahlu li 'l-ijtihad
dapat diperbanyak. Kalau sudah pada tempatnya untuk duduk di
kursi ijtihad, janganlah menduduki bangku taqlid. Sebab ada
beberapa ulama yang semestinya mereka mampu berijtihad,
tetapi nyatanya masih tetap menjadi muqallidin yang setia.
Demikian juga harus kita usahakan, jangan sampai terjadi
adanya "man laisa lahu ahlun li 'l-ijtihad" memberanikan
diri untuk berijtihad. Ini sangat berbahaya.

TINGKATAN TAQLID/MUQALLID

Sebagaimana halnya ijtihad/mujtahid yang bertingkat-tingkat,
demikian juga taqlid/muqallid yang terdiri dari beberapa
tingkatan, yaitu:

1. Taqlid secara total/murni (taqlid al-mahdli), seperti
taqlid yang dilakukan oleh kebanyakan orang awam, dimana
dalam keseluruhan hukum Islam, mereka mengikuti pendapat
imam mujtahid.

2. Taqlid dalam bidang-bidang hukum tertentu saja, seperti
yang dilakukan para ulama yang mampu berijtihad dalam bidang
madzhab, bidang tarjih, dan bidang fatwa. Dengan demikian
dilihat dari satu segi, mereka dianggap sebagai mujtahid,
tetapi dilihat dari sisi lain, mereka termasuk muqallid.

3. Taqlid dalam hal kaidah-kaidah istinbath, seperti yang
dilakukan oleh mujtahid muntasib.

MASALAH TALFIQ

Berbicara masalah taqlid, rasanya tidak lengkap kalau kita
tidak menyinggung masalah talfiq. Menurut definisinya,
talfiq ialah beramal dalam suatu masalah/qadliyah atas dasar
hukum yang terdiri dari kumpulan/gabungan dua mazhab atau
lebih.

Ushuliyyin berbeda pendapat mengenai boleh dan tidaknya
seseorang ber-talfiq. Perbedaan ini bersumber dari masalah
boleh dan tidaknya seseorang pindah mazhab. Artinya, apabila
seseorang telah mengikuti/bertaqlid dengan salah satu
mazhab, apakah ia harus terikat dengan madzhab tersebut yang
berarti ia tidak dibenarkan mengikuti atau pindah ke madzhab
lain, ataukah ia tidak terikat dengan arti boleh baginya
mengikuti atau pindah ke madzhab lain? Dalam hal ini ada
tiga pendapat:

1. Apabila seseorang telah mengikuti salah satu mazhab maka
ia harus terikat dengan madzhab tersebut. Baginya tidak
boleh pindah ke madzhab lain baik secara keseluruhan maupun
sebagian (talfiq).

Pendapat ini tidak membenarkan talfiq. Pendapat pertama ini
dipelopori oleh Imam Qaffal. Pendapat ini rupanya yang
banyak memasyarakat di Indonesia, yang di zaman
partai-partai Islam masih ada, sempat dipolitisir dan
eksploitir.

2. Seorang yang telah memilih salah satu madzhab boleh saja
pindah ke madzhab lain, walaupun dengan motivasi mencari
kemudahan, selama tidak terjadi dalam kasus hukum (dalam
kesatuan qadliyah) dimana imam yang pertama dan imam yang
kedua atau imam yang sekarang diikuti sama-sama menganggap
batal.

Pendapat kedua ini membenarkan talfiq sekalipun dimaksudkan
untuk mencari kemudahan, dengan ketentuan tidak terjadi
dalam kesatuan qadliyah yang menurut imam pertama dan imam
kedua sama-sama dianggap batal. Golongan ini dipelopori olah
al-Qarafi.

3. Tidak ada larangan bagi seseorang untuk berpindah
madzhab, sekalipun dimaksudkan untuk mencari keringanan.

Pendapat ini memperbolehkan talfiq sekalipun dimaksudkan
untuk tujuan mencari keringanan tersebut. Pendapat ketiga
ini dipelopori oleh Al-Kamal Ibnu Hammam.

Dari segi dalil maupun kemaslahatan diantara ketiga pendapat
di atas menurut hemat saya yang paling kuat adalah pendapat
Al-Kamal Ibnu Hammam dengan alasan antara lain:

1. Tidak ada nash agama baik dari al-Qur'an maupun Sunnah
yang mewajibkan seseorang harus terikat dengan salah satu
mazhab saja. Yang ada adalah perintah untuk bertanya kepada
ulama tanpa ditentukan ulama yang mana dan siapa orangnya
(QS. al-Nahl: 43).

2. Hadits Nabi yang menyatakan bahwa Rasulullah tidak pernah
disuruh memilih sesuatu kecuali akan memilih yang paling
mudah, selama tidak membawa ke dosa.

3. Kaidah yang berbunyi, "al-ami la madzhaba lahu" -orang
awam tidak punya mazhab. Tidak punya mazhab artinya tidak
terikat.

Hanya saja dalam hal-hal yang menyangkut kemasyarakatan maka
yang berlaku adalah mazhab pemerintah atau pendapat yang
diundangkan pemerintah lewat perundang-undangan. Hal ini
dimaksudkan untuk keseragaman dan menghindarkan adanya
kesimpang-siuran. Hal ini sejalan dengan kaidah, "Keputusan
pemerintah mengikat atau wajib dipatuhi dan akan
menyelesaikan persengketaan."

Contoh Talfiq

a. Dalam Ibadat.

1. Seseorang berwudlu menurut madzhab Syafi'i yang menyapu
kurang dari seperempat kepala, kemudian ia bersentuhan kulit
dengan ajnabiyah; ia terus bershalat dengan mengikuti
madzhab Hanafi yang mengatakan bahwa sentuhan tersebut tidak
membatalkan wudlu.

2. Seseorang berwudlu mengikuti tata cara Syafi'i, kemudian
ia bershalat dengan menghadap kiblat dengan posisi
sebagaimana ditentukan oleh madzhab Hanafi.

b. Masalah Kemasyarakatan

1. Membuat undang-undang perkawinan dimana akad nikahnya
harus dengan wali dan saksi karena mengikuti madzhab
Syafi'i; mengenai sah jatuhnya thalaq raj'i mengikuti
madzhab Hanafi yang memandang sah ruju' bi 'l-fi'li
(langsung bersetubuh).

2. Terjadi ru'yah yang mu'tabarah pada suatu tempat,
kemudian Qadli Syafi'i menetapkan bahwa ru'yah tersebut
berlaku pada seluruh wilayah kekuasaannya, sebab Qadli tadi
berpegang dengan pendapat madzhab Maliki dan Hanafi yang
tidak memandang persoalan mathla'.

Kesimpulan

Dari beberapa uraian di atas ingin saya ambil beberapa
kesimpulan sebagai berikut:

1. Ijtihad merupakan sarana yang paling efektif untuk
mendukung tetap tegak dan eksisnya hukum Islam serta
menjadikannya sebagai tatanan hidup yang up to date yang
sanggup menjawab tantangan zaman (shalihun li kulli zaman wa
makan).

2. Ijtihad baru akan berfungsi dan berdayaguna sebagaimana
disebutkan pada Butir pertama jika ijtihad dilakukan para
ahlinya (mereka yang memenuhi persyaratan dan dilakukan pada
tempatnya sesuai dengan ketentuan yang telah diakui
kebenaran dan kesalahannya).

3. Ijtihad akan membawa kejayaan bagi Islam dan umatnya,
apabila hal itu dilakukan oleh yang memenuhi persyaratan dan
dilakukan di tempat-tempat yang diperbolehkan memainkan
peranan ijtihad.

4. Ijtihad yang dilakukan oleh yang bukan ahlinya/yang
tidak memenuhi persyaratan atau dilakukan tidak pada
tempatnya justru akan membawa kehancuran Islam dan bencana
serta malapetaka bagi umatnya. Na'udzu bi 'l-Lah.

5. Ijtihad yang saat ini benar-benar masih dapat kita
lakukan ialah ijtihad di bidang tarjih dan ijtihad dalam
kasus-kasus tertentu yang belum pernah diijtihadi dibahas
oleh imam-imam mujtahid terdahulu. Keduanya ini dapat kita
lakukan secara perorangan (ijtihad fardy) atau secara
kolektif (ijtihad jamma'iy).

6. Ijtihad sepanjang pengertian ushuliyyin hanyalah berlaku
di dunia hukum.

7. Perbedaan yang ditolerir oleh Islam yang dinyatakan akan
membawa rahmat/kelapangan adalah perbedaan di bidang hukum
furu'/fiqih sebagai akibat dari adanya perbedaan ijtihad.

8. Untuk menggalakkan ijtihad guna menjadikan hukum Islam
ini dinamis dan lincah perlu digalakkan studi fiqih
perbandingan dan ushul fiqih perbandingan di lembaga-lembaga
pendidikan Islam, khususnya perguruan tinggi.

9. Ijtihad dapat kita jadikan alat untuk menjawab perlu dan
tidaknya reaktualisasi hukum Islam dan hal itu hanya
memenuhi persyaratan ijtihad. Tanpa itu hanya omong kosong.

10.Marilah kita menjadi mujtahid yang benar atau muqallid
yang baik yang mempunyai komitmen yang utuh terhadap ajaran
agama Islam.

DAFTAR KEPUSTAKAAN

1. Al-Syafi'i, al-Risalah
2. Muhammad bin 'Ali al-Bashri, al-Mu'tamad
3. Al-Juwaini, al-Burhan
4. Al-Ghazali, al-Musthafa
5. Fakhruddin al-Razi, al-Mahshul
6. Al-Amidi, Inkamu 'l-Ihkam
7. Al-Baidlawi, Minhaju 'l-Ushul
8. Al-Asnawi, Nihayatu 'l-Sul
9. Al-Subki, Jam'ul Jawami'
10. Ushulus-Sarkhasi
11. Ushulul-Bazdawi
12. Al-Nasafi, al-Manar
13. Al-Baghdadi, Badi'un-Nidham
14. Shadrus-Syari'ah Al-Bukhari, Ranqikhu 'l-Ushul
15. Al-Kamal Ibnul-Hammam, al-Tahrõr
16. Muhammad bin Amir al-Halabi, Taisirut-Tahrir
17. Al-Syaukani, Irsyadu 'l-Fukhul
18. Muhibbu 'l-Lah "Abdus-Syakur," Musallamu 'l-Tsubur
19. al-Syathibi, al-Muwafaqat
20. Ibnul Qayyim, A'lamu 'l-Muwaqq'in

Tidak ada komentar:

Posting Komentar