Beberapa Pengertian Dasar Oleh KH. Ibrahim Hosen
1. IJTIHAD
Tulisan ini akan mendahulukan masalah ijtihad, baru kemudian
menyoroti masalah taqlid. Minimal ada tiga alasan kenapa
lebih mendahulukan ijtihad daripada taqlid.
1. Sekedar mengikuti kelaziman, dimana dalam buku-buku Ushul
Fiqh, masalah ijtihad selalu lebih dahulu dibicarakan
sebelum masalah taqlid.
2. Taqlid tidak akan ada tanpa ijtihad. Dengan demikian
seseorang hanya dibenarkan bertaqlid kepada mujtahid yang
mu'tabar.
3. Persoalan taqlid akan lebih mudah dipahami jika seseorang
telah memahami persoalan ijtihad.
Dalam tulisan ini saya hanya akan bicara tentang beberapa
aspek ijtihad dan taqlid yang dipandang penting; mengingat
kedua masalah itu amat sering diperbincangkan, disamping
banyaknya buku yang mengupas masalah tersebut yang mudah
kita temukan.
PENGERTIAN IJTIHAD
Menurut bahasa, ijtihad berarti "pengerahan segala kemampuan
untuk mengerjakan sesuatu yang sulit." Atas dasar ini maka
tidak tepat apabila kata "ijtihad" dipergunakan untuk
melakukan sesuatu yang mudah/ringan.
Pengertian ijtihad menurut bahasa ini ada relevansinya
dengan pengertian ijtihad menurut istilah, dimana untuk
melakukannya diperlukan beberapa persyaratan yang karenanya
tidak mungkin pekerjaan itu (ijtihad) dilakukan sembarang
orang.
Dan di sisi lain ada pengertian ijthad yang telah digunakan
para sahabat Nabi. Mereka memberikan batasan bahwa ijtihad
adalah "penelitian dan pemikiran untuk mendapatkan sesuatu
yang terdekat pada Kitab-u 'l-Lah dan Sunnah Rasul, baik
yang terdekat itu diperoleh dari nash -yang terkenal dengan
qiyas (ma'qul nash), atau yang terdekat itu diperoleh dari
maksud dan tujuan umum dari hikmah syari'ah- yang terkenal
dengan "mashlahat."
Dalam kaitan pengertan ijtihad menurut istilah, ada dua
kelompok ahli ushul flqh (ushuliyyin) -kelompok mayoritas
dan kelompok minoritas- yang mengemukakan rumusan definisi.
Dalam tulisan ini hanya akan diungkapkan pengertian ijtihad
menurut rumusan ushuliyyin dari kelompok mayoritas.
Menurut mereka, ijtihad adalah pengerahan segenap
kesanggupan dari seorang ahli fxqih atau mujtahid untuk
memperoleh pengertian tingkat dhann terhadap sesuatu hukum
syara' (hukum Islam).
Dari definisi tersebut dapat ditarik beberapa kesimpulan
sebagai berikut:
1. Pelaku utihad adalah seorang ahli fiqih/hukum Islam
(faqih), bukan yang lain.
2. Yang ingin dicapai oleh ijtihad adalah hukum syar'i,
yaitu hukum Islam yang berhubungan dengan tingkah laku dan
perbuatan orang-orang dewasa, bukan hukum i'tiqadi atau
hukum khuluqi,
3. Status hukum syar'i yang dihasilkan oleh ijtihad adalah
dhanni.
Jadi apabila kita konsisten dengan definisi ijtihad diatas
maka dapat kita tegaskan bahwa ijtihad sepanjang pengertian
istilah hanyalah monopoli dunia hukum. Dalam hubungan ini
komentator Jam'u 'l-Jawami' (Jalaluddin al-Mahally)
menegaskan, "yang dimaksud ijtihad adalah bila dimutlakkan
maka ijtihad itu bidang hukum fiqih/hukum furu'. (Jam'u
'l-Jawami', Juz II, hal. 379).
Atas dasar itu ada kekeliruan pendapat sementara pihak yang
mengatakan bahwa ijtihad juga berlaku di bidang aqidah.
Pendapat yang nyeleneh atau syadz ini dipelopori al-Jahidh,
salah seorang tokoh mu'tazilah. Dia mengatakan bahwa ijtihad
juga berlaku di bidang aqidah. Pendapat ini bukan saja
menunjukkan inkonsistensi terhadap suatu disiplin ilmu
(ushul fiqh), tetapi juga akan membawa konsekuensi
pembenaran terhadap aqidah non Islam yang dlalal. Lantaran
itulah Jumhur 'ulama' telah bersepakat bahwa ijtihad hanya
berlaku di bidang hukum (hukum Islam) dengan
ketentuan-ketentuan tertentu.
MEDAN IJTIHAD
Di atas telah ditegaskan bahwa ijtihad hanya berlaku di
bidang hukum. Lalu, hukum Islam yang mana saja yang mungkin
untuk di-ijtihad-i? Adakah hal itu berlaku di dunia hukum
(hukum Islam) secara mutlak?
Ulama telah bersepakat bahwa ijtihad dibenarkan, serta
perbedaan yang terjadi sebagai akibat ijtihad ditolerir, dan
akan membawa rahmat manakala ijtihad dilakukan oleh yang
memenuhi persyaratan dan dilakukan di medannya (majalul
ijtihad). Lapangan atau medan dimana ijtihad dapat memainkan
peranannya adalah:
1. Masalah-masalah baru yang hukumnya belum ditegaskan oleh
nash al-Qur'an atau Sunnah secara jelas.
2. Masalah-masalah baru yang hukumnya belum diijma'i oleh
ulama atau aimamatu 'l-mujtahidin.
3. Nash-nash Dhanny dan dalil-dalil hukum yang
diperselisihkan.
4. Hukum Islam yang ma'qulu 'l-ma'na/ta'aqquly (kausalitas
hukumnya/'illat-nya dapat diketahui mujtahid).
Jadi, kalau kita akan melakukan reaktualisasi hukum Islam,
disinilah seharusnya kita melakukan terobosan-terobosan
baru. Apabila ini yang kita lakukan dan kita memang telah
memenuhi persyaratannya maka pantaslah kita dianggap sebagai
mujtahid di abad modern ini yang akan didukung semua pihak.
Sebaliknya ulama telah bersepakat bahwa ijtihad tidak
berlaku atau tidak dibenarkan pada:
1. Hukum Islam yang telah ditegaskan nash al-Qur'an atau
Sunnah yang statusnya qath'iy (ahkamun manshushah), yang
dalam istilah ushul fiqih dikenal dengan syari'ah atau
"ma'ulima min al-din bi al-dlarurah."
Atas dasar itu maka muncullah ketentuan, "Tidak berlaku
ijtihad pada masalah-masalah hukum yang ditentukan
berdasarkan nash yang status dalalah-nya qath'i dan tegas."
Bila kita telaah, kaidah itulah yang menghambat aspirasi
sementara kalangan yang hendak merombak hukum-hukum Islam
qath'i seperti hukum kewarisan al-Qur'an.
2. Hukum Islam yang telah diijma'i ulama.
3. Hukum Islam yang bersifat ta'abbudy/ghairu ma'quli
'lma'na (yang kausalitas hukumnya/'illat-nya tidak dapat
dicerna dan diketahui mujtahid).
Disamping ijtihad tidak berlaku atau tidak mungkin dilakukan
pada ketiga macam hukum Islam di atas, demikian juga ijtihad
akan gugur dengan sendirinya apabila hasil ijtihad itu
berlawanan dengan nash. Hal ini sejalan dengan kaidah,
"Tidak ada ijtihad dalam melawan nash."
PERBEDAAN YANG DITOLERIR
Ijtihad dilegalisasi bahkan sangat dianjurkan oleh Islam.
Banyak ayat al-Qur'an dan Hadits Nabi yang menyinggung
masalah ini. Islam bukan saja memberi legalitas ijtihad,
akan tetapi juga mentolerir adanya perbedaan pendapat
sebagai hasil ijtihad. Hal ini antara lain diketahui dari
Hadits Nabi yang artinya,
"Apabila seorang hakim akan memutuskan perkara, lalu ia
melakukan ijtihad, kemudian ijtihadnya benar, maka ia
memperoleh dua pahala (pahala ijtihad dan pahala
kebenarannya). Jika hakim akan memutuskan perkara, dan ia
berijtihad, kemudian hasil ijtihadnya salah, maka ia
mendapat satu pahala (pahala ijtihadnya)." (Riwayat Bukhari
Muslim).
--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
Jumat, 19 November 2010
IJTIHAD 1 Oleh Prof. DR.KH. Ibrahim Hosen LML
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar