Jumat, 19 November 2010

IJTIHAD 2 Oleh Prof. DR.KH. Ibrahim Hosen LML

Beberapa Pengertian Dasar             Oleh KH. Ibrahim Hosen

Hadits di atas bukan saja memberi legalitas ijtihad, akan
tetapi juga menunjukkan kepada kita bahwa adanya perbedaan
pendapat sebagai hasil ijtihad ditolerir. Prinsip ini
dipegang teguh oleh para imam mujtahid; sehingga muncullah
ucapan mereka yang sangat populer, "Pendapat kami benar,
tetapi mengandung kemungkinan salah; dan pendapat selain
kami salah, tetapi mengandung kemungkinan benar."

Hal ini sejalan dengan status fiqih sebagai produk ijtihad
yang statusnya dhanny, yang artinya kebenarannya tidak
bersifat absolut, ia benar tetapi mengandung kemungkinan
salah, ia salah tetapi mengandung kemungkinan benar. Hanya
saja, menurut mujtahid, porsi kebenarannya lebih
dominan/rajih. Perbedaan pendapat dalam hukum Islam sebagai
hasil ijtihad inilah yang ditegaskan Nabi akan membawa
rahmat (kelapangan bagi umat) sebagaimana diketahui
ditegaskan dalam sebuah hadits, "Perbedaan pendapat di
kalangan ulama akan membawa rahmat." (Abu Nashar
Al-Muqaddasi).

Yang dimaksud dengan perbedaan di sini adalah perbedaan
pendapat dalam hukum Islam ijtihady, yakni fiqih. Inilah
yang ingin saya tegaskan dalam kesempatan ini mengingat
adanya sementara pihak yang menggunakan hadits marfu' untuk
membenarkan adanya perbedaan pendapat di bidang aqidah yang
akan bermuara pada paham "pluralisme agama" -semua agama
sama atau benar. Ini jelas tidak dapat dibenarkan. Apabila
benar bahwa semua agama itu sama tentu tidak ada kewajiban
berda'wah, amar ma'ruf nahi munkar, jihad dan sebagainya.
Demikian juga al-Qur'an tidak perlu diturunkan.

IJTIHAD TIDAK DAPAT DIGUGURKAN DENGAN IJTIHAD

Di atas telah disinggung bahwa hukum yang dihasilkan oleh
ijtihad statusnya dhanny. Oleh sebab itu maka ijtihad yang
satu tidak dapat membatalkan ijtihad yang lain, sejalan
dengan kaidah, "Ijtihad yang satu tidak dapat digugurkan
oleh ijtihad yang lain."

Betapapun lemahnya suatu ijtihad, ia tetap eksis, tidak
dapat begitu saja dilenyapkan oleh ijtihad yang lain,
betapapun kuat dalilnya. Apabila hal ini dapat kita pegangi
secara konsisten maka jiwa tasammuh dalam menanggapi aneka
ragam pendapat di bidang fiqih sebagai akibat perbedaan
dalam berijtihad akan tetap dapat ditumbuhkan; sehingga kita
akan sanggup menjadikan perbedaan pendapat tersebut sebagai
rahmat yang memporak-porandakan persatuan umat Islam.

Prinsip tasammuh sebagai manifestasi dari status fiqih yang
bersifat dhanny tersebut dipegang teguh oleh para Imam
Mujtahid; sehingga muncullah ucapan mereka yang sangat
populer, "Pendapat kami benar, tapi mengandung kemungkinan
salah; dan pendapat selain kami salah, tetapi mengandung
kemungkinan benar."

SYARAT-SYARAT IJTIHAD.

Seseorang yang ingin mendudukkan dirinya sebagai mujtahid
harus memenuhi beberapa persyaratan. Di antara sekian
persyaratan itu yang terpenting ialah:

1. Memiliki ilmu pengetahuan yang luas tentang ayat-ayat
al-Qur'an yang berhubungan dengan masalah hukum, dengan
pengertian ia mampu membahas ayat-ayat tersebut untuk
menggali hukum.

2. Berilmu pengetahuan yang luas tentang hadits-hadits
Rasul yang berhubungan dengan masalah hukum, dengan arti ia
sanggup untuk membahas hadits-hadits tersebut untuk menggali
hukum.

3. Menguasai seluruh masalah yang hukumnya telah
ditunjukkan oleh ijma' agar ia tidak berijtihad yang
hasilnya bertentangan dengan ijma'.

4. Mengetahui secara mendalam tentang masalah qiyas dan
dapat mempergunakannya untuk menggali hukum.

5. Menguasai bahasa Arab secara mendalam. Sebab al-Qur'an
dan Sunnah sebagai sumber asasi hukum Islam tersusun dalam
bahasa Arab yang sangat tinggi gaya bahasanya dan cukup unik
dan ini merupakan kemu'jizatan al-Qur'an.

6. Mengetahui secara mendalam tentang nasikh-mansukh dalam
al-Qur'an dan Hadits. Hal itu agar ia tidak mempergunakan
ayat al-Qur'an atau Hadits Nabi yang telah dinasakh
(mansukh) untuk menggali hukum.

7. Mengetahui latar belakang turunnya ayat (asbab-u
'l-nuzul) dan latar belakang suatu Hadits (asbab-u
'l-wurud), agar ia mampu melakukan istinbath hukum secara
tepat.

8. Mengetahui sejarah para periwayat hadits, supaya ia
dapat menilai sesuatu Hadist, apakah Hadits itu dapat
diterima ataukah tidak. Sebab untuk menentukan derajad/nilai
suatu Hadits sangat tergantung dengan ihwal perawi yang
lazim disebut dengan istilah sanad Hadits. Tanpa mengetahui
sejarah perawi Hadits, tidak mungkin kita akan melakukan
ta'dil tajrih (screening).

9. Mengetahui ilmu logika/mantiq agar ia dapat menghasilkan
deduksi yang benar dalam menyatakan suatu pertimbangan hukum
dan sanggup mempertahankannya.

10. Menguasai kaidah-kaidah istinbath hukum/ushul fiqh, agar
dengan kaidah-kaidah ini ia mampu mengolah dan menganalisa
dalil-dalil hukum untuk menghasilkan hukum suatu
permasalahan yang akan diketahuinya.

MACAM-MACAM TINGKATAN IJTIHAD.

Ijtihad terdiri dari bermacam-macam tingkatan, yaitu:

1. Ijtihad Muthlaq/Mustaqil, yaitu ijtihad yang dilakukan
dengan cara menciptakan sendiri norma-norma dan kaidah
istinbath yang dipergunakan sebagai sistem/metode bagi
seorang mujtahid dalam menggali hukum. Norma-norma dan
kaidah itu dapat diubahnya sendiri manakala dipandang perlu.
Mujtahid dari tingkatan ini contohnya seperti Imam Hanafi,
Imam Malik, Imam Syafi'i dan Imam Ahmad yang terkenal dengan
sebutan Mazhab Empat.

2. Ijtihad Muntasib, yaitu ijtihad yang dilakukan seorang
mujtahid dengan mempergunakan norma-norma dan kaidah-kaidah
istinbath imamnya (mujtahid muthlaq/Mustaqil). Jadi untuk
menggali hukum dari sumbernya, mereka memakai sistem atau
metode yang telah dirumuskan imamnya, tidak menciptakan
sendiri. Mereka hanya berhak menafsirkan apa yang dimaksud
dari norma-norma dan kaidah-kaidah tersebut. Contohnya, dari
mazhab Syafi'i seperti Muzany dan Buwaithy. Dari madzhab
Hanafi seperti Muhammad bin Hasan dan Abu Yusuf. Sebagian
ulama menilai bahwa Abu Yusuf termasuk kelompok
pertama/mujtahid muthalaq/mustaqil.

3. Ijtihad mazhab atau fatwa yang pelakunya disebut mujtahid
mazhab/fatwa, yaitu ijtihad yang dilakukan seorang mujtahid
dalam lingkungan madzhab tertentu. Pada prinsipnya mereka
mengikuti norma-norma/kaidah-kaidah istinbath imamnya,
demikian juga mengenai hukum furu'/fiqih yang telah
dihasilkan imamnya. Ijtihad mereka hanya berkisar pada
masalah-masalah yang memang belum diijtihadi imamnya,
men-takhrij-kan pendapat imamnya dan menyeleksi beberapa
pendapat yang dinukil dari imamnya, mana yang shahih dan
mana yang lemah. Contohnya seperti Imam Ghazali dan Juwaini
dari madzhab Syafi'i.

4. Ijtihad di bidang tarjih, yaitu ijtihad yang dilakukan
dengan cara mentarjih dari beberapa pendapat yang ada baik
dalam satu lingkungan madzhab tertentu maupun dari berbagai
mazhab yang ada dengan memilih mana diantara pendapat itu
yang paling kuat dalilnya atau mana yang paling sesuai
dengan kemaslahatan sesuai dengan tuntunan zaman. Dalam
mazhab Syafi'i, hal itu bisa kita lihat pada Imam Nawawi dan
Imam Rafi'i. Sebagian ulama mengatakan bahwa antara kelompok
ketiga dan keempat ini sedikit sekali perbedaannya; sehingga
sangat sulit untuk dibedakan. Oleh karena itu mereka
menjadikannya satu tingkatan.

BENARKAH PINTU IJTIHAD SUDAH DIKUNCI?

Para ahli fiqih telah sepakat bahwa ijtihad dengan
pengertian penyesuaian suatu perkara dengan sesuatu hukum
yang sudah ada tetap terbuka. Ijtihad kategori ini tidak
termasuk ketentuan ijtihad menurut ketentuan ushul fiqih.

Perbedaan pendapat terjadi pada ijtihad menurut definisi
ushul fiqih. Sebagian ulama berpendapat bahwa pintu ijtihad
telah tertutup. Gema ini digelorakan oleh ulama-ulama
mutakhirin pada awal abad ke-IV Hijriah setelah dunia Islam
diliputi kabut ta'ashub madzhab serta banyaknya man laisa
lahu ahlu 'l-Ijtihad (mujtahid karbitan) yang tampil mengaku
sebagai mujtahid.

Sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa pintu ijtihad
tetap terbuka dan dapat dimasuki oleh siapa saja yang
memiliki kuncinya (memenuhi persyaratan). Pendapat ini
antara lain diproklamirkan Imam al-Syaukani pada pertengahan
abad ke-XIII Hijriah, yang kemudian di Mesir digalakkan oleh
Syekh Al-Maraghy, Rektor Universitas Al-Azhar pada waktu
itu.

Golongan yang memandang bahwa ijtihad adalah sumber hukum,
mereka berpendapat bahwa pintu ijtihad tetap terbuka.
Sedangkan golongan yang memandang bahwa ijtihad adalah
kegiatan/pekerjaan mujtahid, mereka berpendapat bahwa pintu
ijtihad telah tertutup, yaitu sejak wafatnya imam-imam
mujtahid kenamaan.

Kini, kita perlu mengetahui argumentasi dari golongan yang
berpendapat bahwa pintu ijtihad masih tetap terbuka, yaitu:

1. Menutup pintu ijtihad berarti menjadikan hukum Islam yang
semestinya lincah dan dinamis menjadi kaku dan beku;
sehingga Islam akan ketinggalan zaman. Sebab, akan banyak
kasus baru yang hukumnya belum dijelaskan oleh al-Qur'an dan
Sunnah serta belum dibahas oleh ulama-ulama terdahulu, tidak
dapat diketahui bagaimana status hukumnya.

2. Menutup pintu ijtihad berarti menutup kesempatan ulama
Islam untuk menciptakan pemikiran-pemikiran yang baik dalam
memanfaatkan dan menggali sumber atau dalil hukum Islam

3. Dengan membuka pintu ijtihad maka setiap permasalahan
baru yang dihadapi umat, akan dapat diketahui hukumnya.
Dengan demikian maka hukum Islam akan selalu berkembang dan
tumbuh subur serta sanggup menjawab tantangan zaman.

Golongan yang berpendapat bahwa pintu ijtihad telah tertutup
antara lain beralasan:

1. Hukum Islam baik dalam bidang 'ibadah, mu'amalah,
munakahah, jinayah dan lain sebagainya seluruhnya sudah
lengkap dan dibukukan secara terperinci dan rapi. Karena itu
kita tidak perlu melakukan ijtihad lagi.

2. Mayoritas Ahl al-Sunnah hanya mengakui Madzhab Empat.
Oleh karena itu tiap-tiap yang menganut madzhab Ahl
al-Sunnah harus memilih salah-satu dari Madzhab Empat. Ia
harus terikat tidak boleh pindah madzhab.

3. Membuka pintu ijtihad selain hal itu percuma dan
membuang-buang waktu, juga hasilnya akan berkisar:

a. Mungkin berupa hukum yang terdiri dari koleksi pendapat
antara dua madzhab atau lebih, yang biasa kita kenal dengan
istilah talfiq, yang kebolehannya masih diperselisihkan kaum
ushuliyyin.

b. Mungkin berupa hukum yang telah dikeluarkan oleh salah
satu Madzhab Empat, yang berarti ijtihad yang dilakukan itu
hanyalah tahsil al-hasil

c. Mungkin berupa hukum yang sesuai dengan salah satu mazhab
di luar Mazhab Empat. Padahal, menurut mayoritas ulama Ahl
al-Sunnah, selain Mazhab Empat tidaklah dianggap.

d. Mungkin berupa hukum yang tidak seorangpun ulama Islam
membenarkannya. Hal semacam ini pada hakikatnya menentang
ijma'.

4. Realitas sejarah menunjukkan bahwa sejak awal abad ke-IV
Hijriah sampai detik ini tak seorangpun ulama berani
menonjolkan diri atau ditonjolkan oleh pengikut-pengikutnya
sebagai seorang mujtahid muthlaq/mustaqil. Hal ini
menunjukkan bahwa untuk memenuhi syarat-syarat ijtihad yang
telah ditentukan itu memang sangat sulit kalau tidak
dikatakan tidak mungkin lagi untuk saat seperti sekarang
ini.
(bersambung 3/4)

--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174

1 komentar:

  1. I'm really enjoying the design and layout of your website. It's a very easy on the eyes which makes it much more pleasant for me to come here and visit more often.
    Qassim & QU


    BalasHapus