Jumat, 19 November 2010

IJTIHAD 3 Oleh Prof. DR.KH. Ibrahim Hosen LML

 Oleh KH. Ibrahim Hosen

Sebelum saya mengambil kesimpulan dengan mempertemukan kedua
pendapat yang saling berbeda itu marilah kita ikuti hasil
keputusan Lembaga Penelitian Islam al-Azhar Cairo yang
bersidang pada bulan Maret 1964 M, sebagai berikut:

"Mu'tamar mengambil keputusan bahwa al-Qur'an dan Sunnah
Rasul merupakan sumber pokok hukum Islam; dan bahwa
berijtihad untuk mengambil hukum dari al-Qur'an dan Sunnah
dibenarkan manakala ijtihad itu dilakukan pada tempatnya;
dan bahwa jalan untuk memelihara kemaslahatan dan untuk
menghadapi peristiwa-peristiwa yang selalu timbul, hendaklah
dipilih di antara hukum-hukum fiqih pada tiap-tiap mazhab
suatu hukum yang memuaskan. Jika tidak terdapat suatu hukum
yang memuaskan dengan jalan tersebut, maka berlakulah
ijtihad bersama (kolektif) berdasarkan madzhab, dan jika
tidak memuaskan maka berlakulah ijtihad bersama secara
mutlaq. Lembaga penelitian akan mengatur usaha-usaha untuk
mencapai ijtihad bersama baik secara mazhab maupun secara
mutlaq untuk dapat dipergunakan dimana perlu."

Dari Keputusan Lembaga Penelitian Islam al-Azhar tersebut
dapat diambil kesimpulan bahwa:

1. Pintu ijtihad masih tetap terbuka bagi yang memenuhi
persyaratan.

2. Ijtihad dibenarkan apabila dilakukan di tempat-tempat
dimana ijtihad boleh dilakukan.

3. Butir pertama hanya berlaku untuk:

a. Ijtihad di bidang tarjih baik secara perorangan (ijtihad
fardy) maupun secara kolektif (ijtihad Jama'iy).

b. Ijtihad di bidang madzhab apabila dilakukan secara
kolektif (ijtihad madzhab jama'iy).

c. Ijtihad muthlaq apabila dilakukan secara kolektif
(ijtihad muthlaq jama'iy).

4. Poin kedua tidak berlaku untuk:

a. Ijtihad madzhab secara perorangan (ijtihad madzhab
fardy).

c. Ijtihad muthlaq secara perorangan (ijtihad muthlaq
fardy).

Keputusan Lembaga Penelitian Islam al-Azhar tersebut sangat
bijaksana, karena keputusan itu telah mempertemukan antara
dua pendapat yang saling berbeda. Dengan demikian, pendapat
yang mengatakan bahwa pintu ijtihad masih tetap terbuka
haruslah diartikan untuk:

1. Ijtihad di bidang tarjih baik bagi perorangan maupun
kelompok secara kolektif,

2. Ijtihad madzhab secara kolektif

3. Ijtihad muthlaq secara kolektif,

Demikian juga pendapat yang mengatakan bahwa pintu ijtihad
telah tertutup haruslah kita artikan untuk:

1. Ijtihad mutlaq secara perorangan,

2. Ijtihad madzhab secara perorangan.

Jadi tidak tepat, kalau secara mutlaq/tanpa batasan kita
mengatakan bahwa pintu ijtihad telah tertutup. Dan
sebaliknya, tidak tepat kalau kita mengatakan secara
mutlaq/tanpa batasan bahwa pintu ijtihad masih tetap
terbuka. Dan harus kita sadari bahwa pintu ijtihad masih
tetap terbuka dalam bidang-bidang tertentu tersebut adalah
bagi yang memenuhi syarat. Bagi yang tidak, tentunya
tertutup kemungkinan untuk membuka pintu ijtihad dengan
segala macam bentuknya.

Menurut saya, mengingat sangat jarangnya faqih/ulama ahli
hukum seperti saat sekarang ini, maka yang masih benar-benar
dapat dilakukan adalah:

1. Ijtihad di bidang tarjih baik secara perorangan maupun
secara kolektif.

2. Ijtihad untuk kasus-kasus tertentu yang memang belum
pernah dibahas oleh aimmat al-mujtahidin terdahulu. Hal ini
dapat dilakukan secara perorangan maupun secara kolektif.

Kelompok pertama sudah banyak dilakukan oleh Muhammadiyah
dengan Majelis Tarjihnya, NU dengan Syuriyah dan Bahstul
Matsailnya, MUI dengan Komisi Fatwanya. Kelompok kedua,
alhamdulillah, sudah banyak dilakukan oleh Komisi Fatwa MUI;
sayangnya belum banyak dipublikasikan. Pesan saya dalam
menutup uraian tentang ijtihad ini, kalau memang bukan faqih
yang menguasai kaidah-kaidah istinbath, janganlah sok
berijtihad, sebab bisa berakibat fatal. Milikilah
persyaratan dan berijtihadlah di tempat-tempat yang
dibenarkan untuk melakukan ijtihad sesuai dengan ketentuan
yang berlaku.

2. TAQLID

Tidak semua orang sanggup memahami hukum Islam secara
langsung dari dalil atau sumbernya, mengingat kecerdasan,
daya tangkap dan ilmu yang dimiliki seseorang bagaimanapun
tidaklah sama. Bagi mereka yang memenuhi persyaratan ijtihad
sebagaimana telah disebutkan di atas, mereka akan sanggup
melakukan hal tersebut, yakni mengetahui, memahami dan
menggali hukum Islam dari sumber atau dalilnya secara
langsung. Mereka itulah para mujtahid dengan segala macam
tingkatannya.

Bagi mereka yang tidak memiliki persyaratan ijtihad, tentu
tidak akan sanggup mengetahui, memahami dan menggali hukum
Islam yang harus diamalkannya secara langsung dari dalil
atau sumbernya. Untuk mengetahui hukum Islam yang akan
diamalkannya, tentu mereka harus lewat perantara, yaitu
harus mengetahuinya melalui mujtahid. Dari sinilah muncul
persoalan taqlid.

Secara faktual, eksistensi taqlid memang tidak mungkin
dihindarkan, mengingat tingkatan manusia yang berbeda-beda.

Kaidah Agama yang mengatakan, La taklifa fawqa 'l-istitha'a
-manusia tidak akan ditaklif untuk melakukan sesuatu yang
tidak mungkin dilaksanakan/diluar kemampuannya. Mentaklif
atau mewajibkan seluruh umat manusia untuk meraih rutbatu
'l-ijtihad jelas tidak mungkin. Disamping tidak logis dan
tidak realistis, hal itu juga akan membawa akibat
terbengkalainya urusan-urusan duniawi/kehidupan yang lain,
karena waktu dan segala konsentrasi umat manusia hanya
tercurah kearah ijtihad. Ini jelas tidak rasionil.

Memang harus kita sadari bahwa taqlid bukanlah merupakan
sistem atau metode keilmuan yang baik yang digunakan
seseorang untuk memperoleh ilmu. Sebab, sistem dan metode
yang baik yang seharusnya kita jadikan washilah/sarana
mencapai atau memperoleh ilmu adalah nadhar. Sedangkan
penelitian, pengkajian dan penelaahan secara mendalam, yang
khusus untuk mencapai hukum furu'/fiqih dikenal dengan
ijtihad. Oleh karena itu jumhur ulama telah mencapai
konsensus bahwa taqlid tidak dapat dijadikan dasar atau
metode keilmuan di bidang aqidah. Karena itu pula pelaku
taqlid berdosa, sekalipun imannya sah. Sebagai contoh untuk
mengetahui bahwa Allah itu ada maka harus ditempuh lewat
nadhar. Apabila hal itu diketahui lewat taqlid, ia berdosa,
meski imannya dianggap sah. Taqlid di bidang aqidah inilah
yang antara lain dicela al-Qur'an sebagaimana yang
ditegaskan dalam QS. al-Zuhruf Ayat 23, yang artinya sbb:

"Dan demikianlah, Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang
Nabi/Rasul yang memberi peringatan pada suatu negeri,
melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu
berkata; "Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak (leluhur)
kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah
pengikut jejak-jejak mereka."

Mengenai taqlid di bidang hukum Islam, khususnya fiqih,
agama membenarkan, mengingat bahwa dalam masalah hukum
taklifi seseorang dibenarkan melakukan sesuatu berdasarkan
dhann-nya. Bahkan sebagian besar hukum taklifi dasarnya
dhann. Disinilah antara lain perbedaan ajaran Islam yang
berhubungan dengan masalah aqidah/keimanan dengan ajaran
Islam yang berhubungan dengan masalah hukum.

Dalam bidang aqidah/keimanan, semuanya bersifat qath'iy atau
pasti benarnya. Oleh karena itu ulama telah sepakat bahwa
penetapan aqidah haruslah berdasarkan nash qath'iy
al-dalalah yang tidak mengandung pen-takwil-an. Sedangkan
dalam masalah hukum ada yang bersifat qathi'iy dan ada yang
bersifat dhanny. Kalaulah dalam masalah hukum ini semuanya
harus berdasarkan dalil qath'iy, niscaya pen-taklid-an itu
justru tidak jalan. Lantaran itulah maka taqlid di bidang
hukum dibenarkan. Hanya saja tentunya kita jangan cukup puas
mendudukkan diri kita pada kursi taqlid ini.

Taqlid di bidang hukum inilah yang kita maksud dan yang akan
kita bicarakan dalam tulisan ini.

PENGERTIAN TAQLID

Menurut bahasa, taqlid -bentuk masdar dari kata qallada
berarti kalung yang dipakai/dikalungkan ke leher orang lain,
atau seperti binatang yang akan dijadikan dam, dimana
lehernya diberi kalung sebagai tanda, atau seperti kambing
yang lehernya telah diikat dengan tali atau tambang yang
dapat ditarik ke mana saja, tanpa disadari oleh kambing yang
bersangkutan. Analisa bahasa ini menunjukkan kepada kita
seolah-olah seseorang yang telah bertaqlid kepada seorang
mujtahid/imam telah memberi identitas diri dengan sebuah
kalung di lehernya dan ia telah mengikat dirinya dengan
pendapat mujtahid/imam tersebut.

Dalam praktek memang demikian. Seseorang yang telah
bertaqlid dengan seorang mujtahid/imam, ia tidak akan begitu
mudah melepaskan diri dari ikatan itu, untuk kemudian pindah
ke pendapat selain imamnya/mujtahid yang diikuti; sehingga
muncullah rasa ta'ashub madzhab/fanatik madzhab yang kadang
sampai berlebih-lebihan. Hal inilah yang pernah melanda umat
Islam termasuk umat Islam di Indonesia sampai berpuluh-puluh
tahun lamanya; sehingga umat Islam menjadi jumud dan Islam
ketinggalan zaman. Syukurlah setelah gelap kini terangpun
datang, dan kini telah mulai memancar sinar itu ke ufuk
penjuru dunia Islam termasuk Negeri Pancasila tercinta ini.
Hal ini antara lain berkat digalakkannya studi fiqh
perbandingan dan ushul fiqih perbandingan di
perguruan-perguruan tinggi Islam. Kondisi yang baik ini
harus terus kita kembangkan.

Sedangkan taqlid menurut istilah ada beberapa rumusan,
antara lain:

1. Taqlid ialah beramal berdasarkan pendapat orang lain yang
pendapatnya itu tidak merupakan salah satu dalil yang
dibenarkan, dan ini dilakukan tanpa berdasarkan dalil.
Demikian menurut al-Kamal Ibn al-Hammam dalam al-Tahrir.

2. Menerima pendapat orang lain dalam kondisi anda tidak
mengetahui dari mana orang itu berpendapat. Demikian menurut
al-Qaffal.

3. Beramal berdasarkan pendapat orang lain tanpa berdasarkan
dalil. Demukian menurut al-Syaukany dalam Irsyad al-Fukhul.

Sesuai dengan pengertian taqlid di atas maka beberapa hal
seperti di bawah ini tidaklah termasuk kategori taqlid.
Beberapa hal itu ialah:

a. Beramal berdasarkan ayat al-Qur'an atau Hadits Nabi.

b. Beramal berdasarkan ijma'

c. Seorang hakim yang memutuskan perkara berdasarkan
kesaksian saksi yang adil.

Sementara pihak ada yang membedakan antara taqlid dan
ittiba'. Taqlid ialah mengamalkan pendapat orang lain tanpa
mengetahui dalilnya, sedangkan ittiba' adalah beramal atau
mengamalkan pendapat orang lain dengan mengetahui dalilnya.
Sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa beramal atau
mengamalkan pendapat orang lain dengan mengetahui dalilnya
adalah ijtihad. Menurut hemat saya yang ada hanyalah ijtihad
dan taqlid. Jadi Ittiba' itu sendiri termasuk kategori
taqlid, hanya istilah dan tingkatannya saja yang berbeda,
tapi hakikatnya sama, yaitu sama-sama mengikuti pendapat
orang lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar